Mengenal Inklusi Bagi Anak Tuna Rungu
28 11 2009
Jan 8, ’08 1:13 AM
Artikel ini menjelaskan Bagaimana penerapan Program Pendidikan Inklusi Untuk Anak Gangguan Pendengaran
Pendidikan Inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah , mulai dari jenjang TK, SD, SLTP Sampai dengan SMA.
Pada kasus gangguan pendengaran, pendidikan inklusi ini adalah kelanjutan dari model terapi mendengar (Auditori Verbal Terapi) yang telah dilakukan pada anak gangguan pendengaran pada usia dini. Dengan dasar-dasar pendengaran yang lebih baik, pelayanan terhadap pendidikan yang harus diberikan juga semestinya lebih terpadu dan terarah. Pelayanan ini dalam rangkaian usaha pendidikan inklusi bagi anak dengan gangguan pendengaran akan lebih baik jika melakukan pendekatan model Natural Auditory Oral.
Tujuan dari dari pendidikan inklusi bagi anak gangguan pendengaran ini antara lain
• Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya di sekolah maupun di dalam lingkungan rumah
• Adanya optimisme keluar dari problem komunikasi bagi anak gangguan mendengar, dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
• Penghayatan dan menumbuhkan rasa empati dari kalangan anak normal terhadap anak berkebutuhan khusus.
Penanganan Anak Gangguan Pendengaran
• Pemberian Intervensi dini/awal yaitu memberikan layanan deteksi dini, diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan Alat Bantu Dengar dan Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
• Program habilitasi dengan menitikberatkan pada perbaikan cara komunikasi anak dengan menggunakan pendengaran sebagai titik tolak dalam berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
• Program pelayanan pendidikan terpadu, memberikan penyetaraan pada sekolah khusus untuk dipersiapkan pada jalur pendidikan reguler.
Memberikan assesment awal pada anak yang telah masuk pada sekolah regular dengan pendampingan sebagai guru kunjung.
Sumber :http://bikabeleswaraswari.multiply.com/journal/item/1/Mengenal_Inklusi_Bagi_Anak_Tuna_Rungu_
Artikel ini menjelaskan Bagaimana penerapan Program Pendidikan Inklusi Untuk Anak Gangguan Pendengaran
Pendidikan Inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah , mulai dari jenjang TK, SD, SLTP Sampai dengan SMA.
Pada kasus gangguan pendengaran, pendidikan inklusi ini adalah kelanjutan dari model terapi mendengar (Auditori Verbal Terapi) yang telah dilakukan pada anak gangguan pendengaran pada usia dini. Dengan dasar-dasar pendengaran yang lebih baik, pelayanan terhadap pendidikan yang harus diberikan juga semestinya lebih terpadu dan terarah. Pelayanan ini dalam rangkaian usaha pendidikan inklusi bagi anak dengan gangguan pendengaran akan lebih baik jika melakukan pendekatan model Natural Auditory Oral.
Tujuan dari dari pendidikan inklusi bagi anak gangguan pendengaran ini antara lain
• Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya di sekolah maupun di dalam lingkungan rumah
• Adanya optimisme keluar dari problem komunikasi bagi anak gangguan mendengar, dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
• Penghayatan dan menumbuhkan rasa empati dari kalangan anak normal terhadap anak berkebutuhan khusus.
Penanganan Anak Gangguan Pendengaran
• Pemberian Intervensi dini/awal yaitu memberikan layanan deteksi dini, diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan Alat Bantu Dengar dan Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
• Program habilitasi dengan menitikberatkan pada perbaikan cara komunikasi anak dengan menggunakan pendengaran sebagai titik tolak dalam berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
• Program pelayanan pendidikan terpadu, memberikan penyetaraan pada sekolah khusus untuk dipersiapkan pada jalur pendidikan reguler.
Memberikan assesment awal pada anak yang telah masuk pada sekolah regular dengan pendampingan sebagai guru kunjung.
Sumber :http://bikabeleswaraswari.multiply.com/journal/item/1/Mengenal_Inklusi_Bagi_Anak_Tuna_Rungu_
Komentar : Leave a Comment »
Kategori : Tuna Rungu
Terapi Musik Bagi Untuk Tuna Rungu
28 11 2009
Oleh : CAMT, Wilfrid Laurier University (terjemahan bebas oleh: Nora. A. Rizal)
Kerusakan pendengaran ditengarai merupakan salah satu kecacatan syaraf yang paling merusakkan. Dimana kecacatan penglihatan merupakan handicap kita dengan sekeliling kita, sedangkan kecacatan pendengaran merupakan handicap komunikasi dengan masarakat (Darrow, 1989). Komunikasi merupakan dasar dari kehidupan social kita dan aktivitas intelektual, dan tanpa itu kita terputus dari dunia. Untuk alasan inilah, praktek klinik dalam terapi musik untuk tuna rungu di fokuskan pada area yang berhubungan dengan komunikasi seperti : pelatihan auditory, produksi suara (berbicara) dan perkembangan bahasa. Melalui penelitian dalam kekurangan pada komunikasi ini, terapi musik menjadi suatu efek kedua untuk memperbaiki rasa sosial dan kepercayaan diri.
Terapi musik masih dianggap tidak praktis. Dikarenakan sebagian besar orang masih mempunyai konsep yang salah terhadap ketuna runguan dalam kapasitasnya untuk mendengar dan mengapresiasi stimulus musik. Seperti yang telah Darrow (1989) katakan, hanya sebagian kecil persentasi dari ketunarunguan yang tidak bisa mendengar sama sekali. Selanjutnya ia mengatakan bahwa, dikarenakan variasi dari frekuensi dan intensitas pada musik, persepsi musik malah lebih bisa ter-akses, dibandingkan dengan sinyal percakapan yang lebih kompleks. Musik juga sangat fleksible dan dapat dimodifikasikan pada level pendengaran pada setiap orang, level bahasa, kematangan dan preferensi musik.
Robbins & Robbins (1980), yang membuat manual resource yang komprehensif dan kurikulum bagi terapi musik untuk tuna runggu melakukan pendekatan terhadap subyek bersangkutan dengan mempunyai sikap yang mempercayai bahwa sense terhadap musik ada pada setiap orang. Melalui musik, mereka mengarah pada sensitivitas yang inherent dan kapasitas merespon langsung kepada ekspresi dari ritme dan variasi nada, yang dideskripsikan sebagai musik. Mereka juga menekankan, bahwa musik dari berbagai sisi mempunyai efek pada manusia. Musik merupakan media untuk aktivitas dalam bereksplorasi dan pengalaman diri, sehingga berhubungan langsung pada bicara dan bahasa, komunikasi dan pikiran, juga pada ekspresi tubuh dan emosi dalam skala besar. Sehingga terapi musik dapat masuk dan meningkatkan habilitas dan perkembangan secara luas bagi ketuna runguan.
Bagi penderita tuna rungu, terapi musik dapat:
Meningkatkan auditory, pelatihan dan perluasan penggunaan dari sisa pendengaran
Auditory training, merupakan bagian yang terintegrasi denga proses habilitasi pada penderita tunarungu. Tiap individu harus belajar untuk menginterpretasikan dan mengikuti suara, terutama percakapan dalam lingkungannya, dengan maksud untuk meningkatkan rate dan kulitas perkembangan sosial dan komunikasi. Tujuan utama dari auditory training ini adalah untuk mengembakan sisa pendengaran menjadi maksimal. Mereka harus belajar untuk mendengarkan mental yang kompleks dan proses aural. Pelatihan auditori cenderung fokus pada developmment dan fokus untuk analisis suara untuk pasien tuna rungu, dan ini akan menjadikan suatu proses yang membosankan dan tidak menarik. Maka dari itu musik menjadi suatu alat yang memotivasi dan menghidupkan sesi-sesi ini.
Percakapan dan musik mengandung banyak persamaan. Persepsi auditori pada percakapan dan musik melibatkan kemampuan untuk membedakan antara perbedaan suara, pitch, durasi, intensitas dan warna nada dan bagaimana suara bisa berubah-ubah sepanjang waktu. Properti-properti ini terdapat pada kemampuan pendengaran untuk menginterpretasi suara dan mengartikannya. Persamaan yang ada antara musik dan percakapan menyebabkan musik dan terapi musik membuat suatu alternatif dan alat yang menyenangkan untuk melengkapi tehnik pelatihan auditory sebelumnya (Darrow, 1989).
Prosedur terapi musik dapat dapat memberikan beberapa obyek pada pelatihan auditory. Perhatian terhadap suara, perhatian terhadap perbedaan dalam suara, mengenali obyek dan juga suara obyek tersebut, dan penggunaan pendengaran untuk menentukan jarak dan lokasi dari suara dapat dilatih melalui pengalaman pada musik (Darrow 1989). Selain itu, Robbins & Robbins (1980) menemukan bahwa dengan musik yang cocok lebih gampang untuk di dengar dan diasimilasikan dibandingkan dengan percakapan, sehingga lebih cocok untuk dapat menstimulasi motivasi alami pada sisa pendengaran.
Amir & Schuchman (1985) membuat suatu program terapi musik untuk mengembangkan dan meningkatkan kecakapan dalam kesadaran akan suara musik, kesadaran akan kontras intensitas, menyadari adanya suara musik dan juga patron dari musik tersebut. Suatu investigasi untuk melihat keefektifan dari program tersebut memberikan suatu hasil bahwa ada aspek-aspek tertentu untuk seseorang yang profoundly deaf dapat diukur peningkatannya melalui suatu program sistimatik pada pelatihan pendengarannya dalam konteks musikal. Terutama level pendiskriminasian subyek secara signifikan meningkat dan pelatihan dari subyek dalam menerima musik dan juga lingkungan musik tersebut. Amir & Schuchman selanjutnya menyuport penggunaan terapi musik ini dikarenakan hal ini memberikan suatu diversifikasi yang menarik dan pengalam pengajaran yang positif, dengan memperkuat penggunaan sisa pendengaran. Meningkatkan perkembangan percakapan dan meningkatkan intonasi/ritme suara dalam percakapan.
Suara dari seseorang yang mempunyai kekurangan pendengaran sering terdengar aneh dan tidak natural. Pada individu ini sering terjadi kurangnya feedback mekanisme internal yang diperlukan untuk memonitor dan menyesuaikan, sebagai contoh, pelafalan kata-kata, perubahan tinggi rendah (pitch) suara ataupun ritme suara. Sebagai konsekuensi produksi dari suara percakapan mereka sering tidak jelas dan terdistorsi. Penderita tuna rungu ini juga cenderung menunjukkan sedikit variasi pitch dan intonasi dibandingkan orang dengan pendengaran normal, sehingga menghasilkan suara yang monoton. Mereka sering memanjangkan suku kata dan atau kalimat dan juga sering mengambil jeda pada posisi yang tidak tepat. Problem-problem dari ritme dan intonasi ini berpengaruhi pada ketidak jelasan dalam bercakap.
Tehnik dari terapi dan aktivitas musik dapat membantu secara efektif pada perkembangan percakapan dari segi ritme, intonasi, rate dan tekanan suara. Darrow (1989) mendisikusikan penggunaan terapi musik dalam pengertian berbahasa, intonasi vokal, kualitas vokal dan berbicara lancar. Proses bernafas, ritme dan pengambilan waktu yang tepat, pitch dan artikulasi yang diperlukan untuk bernyanyi, memberikan struktur dan motivasi yang penting pagi pasien. Darrow juga menekankan pada pentingnya feedback yang konstan untuk si terapis.
Darrow & Starmer (1986) mempelajari efek dari pelatihan vokal pada frekuensi dasar, range frekuensi dan kecepatan percakapan pada suara anak-anak tuna rungu. Anak-anak ini cenderung mempunyai frekuensi dasar yang tinggi dan sedikit variasi pitch, memproduksi suatu permasalahan dalam kecakapan berbicara. Hasil dari studi ini menyarankan bahwa dengan latihan pada vokal tertentu dan menyanyikan lagu-lagu pada kunci nada rendah yang tepat dapat membantu memodifikasian frekuensi dasar dan range frekuensi pada pasien. Studi lain dari Darrow (1984) juga menunjukkan peran dari terapi musik adalah melatih respons ritme, sehingga membuat respons pada ritme dari suara percakapan menjadi lebih baik.
Staum (1987) telah sukses menggunakan notasi musik untuk mempengaruhi dalam memperbaiki pengucapan bahasa pasien. Ia menggunakan sistem notasi visual sebagai alat untuk membantu pasien dalam mencocokkan kata-kata atau suara dari kata-kata baik yang lazim maupun tidak lazim, dengan ritme yang tepat dan struktur yang dari pitch yang mudah. Hasil positif yang didapat adalah nada pelafalan pengucapan lebih berkembang, juga penyamarataan dan transfer ilmu berkembang secara signifikan
Robbins & Robbins (1980), setelah pelatihan pada pasien tunarungu, mengatakan bahwa kontribusi dari terapi musik untuk memperkuat dan/atau mempercepat pembelajaran dan penggunaan percakapan, vokal yg lebih luas/spontan dan mantap, memperbaiki kualitas suara dan lebih leluasa dalam menggunakan intonasi dan ritme.
Meningkatkan perkembangan dan pendidikan bahasa, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara umum
Bagi anak-anak tuna rungu, keterbatasan input pendengaran tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk mendengar suara percakapan dari orang lain, namun juga mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan bahasa mereka sendiri. Keteraturan memperdengarkan bahasa melalui pendengaran, memberikan informasi penting mengenai vocabulary, syntax (kalimat), semantics (arti kata) dan pragmatics, yang mana hal ini secara langsung diterima oleh anak dengan pendengaran normal. Tanpa keteraturan mendengarkan ini, bagi anak dengan pendengaran terbatas biasanya akan mempunyak banyak problem pada bahasa mereka. Kesulitan itu biasanya terdapat pada kurangnya vocabulary, kesulitan dalam mengartikan kata, menggunakan kata yang salah, struktur dan isi bahasa yang salah, dan lainnya. Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan bahsa ini selanjutnya akan menghalangi individu tersebut dari komunikasi yang mempunyai arti dan juga berinteraksi. Problem berbahasa dapat menimbulkan efek negatif pada pendidikan seperti membaca, menulis dan pemahaman (Gfeller, & Baumann, 1988).
Secara signifikan terapi musik memberikan konstribusi pada kemampuan untuk berkomunikasi dan berbahasa pada pasien tuna rungu. Sebagai contoh Gfeller (1990), mendiskusikan tentang pengayaan repertoire musik dan pengalaman bergerak dalam terapi musik, yang dapat di gabungkan dengan percakapan dan, setelahnya penulisan kata. Anak-anak kecil terutama menggunakan setiap saat pergerakan motorik dan belajar sesuatu melalui manipulasi dari lingkungannya. Instrument musik dan materialnya kaya akan sumber-sumber keterlibatan pada sensorik dan motorik. Pengalaman pada Multi sensory bahwa musik merupakan alat pembelajaran yang bernilai, yang pada akhirnya juga terkait pada representasi mental atau simbol, Gfeller (1990). Event musik dan sekuensialnya dapat dibuat oleh para terapis sebagai model penggunaan bahasa untuk anak. Semenjak rehabilitasi bahasa merupakan suatu proses yang panjang dan lama, terapis musik dapat memberikan motivasi penting untuk membuat aktifitas menjadi bermain dan menyenangkan. Aktivitas dalam terapi musik dapat juga membuat suatu oportuniti untuk menggunakan konsep bahasa dalam konteks yang berbeda
Penelitian lain juga menemukan bahwa integrasi musik dalam pendidikan sebagai bahasa seni sangat menguntungkan (Darrow, 1989; Gfeller, & Darrow, 1987). Tidak hanya meningkatkan motivasi tapi juga memberikan sebuah pendekatan multi sensori untuk belajar, yang dapat membantu pasien untuk mendalami arti dari kata-kata baru. Bernyanyi contohnya, memberikan suatu kesempatan untuk secara intensif menggunakan pendengaran dan beraktifitas vokal. Mempelajari lagu dapat menstimulasi latihan dalam pembedaan auditori, membedakan dan meleburkan bunyi huruf, pengucapan suku-suku kata dan pelafalan kata (Gfeller, & Darrow, 1987). Hal ini dapat juga membantu mengembangkan penguasaan kata-kata dan memberikan suatu pengalaman dalam belajar membuat struktur kalimat dan semantiknya. Membuat lagu dapat juga bertujuan sama. Lagu juga mempunyai kelebihan dalam melafalkan suatu patron nada, menjadi tidak monoton.
Disamping meningkatkan perkembangan bahasa dan mendidik bahasa pada pasien tuna rungu, terapi musik juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan memberikan semacam kesadaran dan kemampuan melihat suatu arti yang diselaraskan/disampaikan melalui “nada pada suara”. Hal-hal penting didalam berkomunikasi dengan orang lain adalah espresi wajah, body language, dan pitch serta intensitas dinamik. Kesadaran dan kepekaan terhadap style dari bahasa yang diucapkan oleh diri sendiri dan orang lain, dapat diberikan dengan berhasil melalui penerapan terapi musik. Dengan menggayakan suatu lagu dan memberi isyarat pada lagu dengan cara yang “gaya baik/indah”, seseorang dapat mempelajari untuk menggunakan dan menyadari nuansa dalam berkomunikasi dengan yang lain (Gfeller, & Darrow, 1987). Berisyarat dalam bernyanyi juga memberikan suatu kesempatan untuk mengeksplorasikan ekspresi dari emosi sendiri, karena lirik dan melodi secara persamaan dapat mengungkapakan suatu ekspresi jiwa dibandingkan dengan hanya berbicara.
Mengembangkan jiwa sosialisasi, kesadaran diri, kepuasan emosinal dan meningkatkan kepercayaan diri
Didalam beberapa literatur mengkarakterkan bahwa seseorang tuna rungu mempunya perasaan kuat akan rendah diri dan depresi, juga mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi dan tertutup (lihat ulasan ulang dari Galloway, & Bean, 1974). Body-image dan kesadaran yang tidak terlalu baik, kurangnya berbahasa dan berkomunikasi, dan tertutupnya rasa sosialisasi, memberikan kontribusi secara signifikan pada perasaan-perasaan ini. Terapi musik dapat memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaiki masalah ini dan meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang tuna rungu.
Brick (1973) menemukan eurhythmics—Seni dari keharmonisan dan gerak tubuh yang ekspresif—dan aktifitas musik yang memberikan pasien suatu pengalaman yang menyenangkan, dimana hal tersebut memberikan energi kreatif untuk pasien. Hal ini sebaliknya membantu mengembangkan kepercayaan diri, memberi rasa bangga dalam menyelesaikan sesuatu dan bekerja sama dalam satu grup. Robbins & Robbins (1980) juga menemukan bahwa aktifitas kelompok musik dapat memberikan contoh untuk menyesuaikan didalam bersosialisasi. Hasil hakiki yang didapat dalam pengalaman bermusik sepertinya dapat memotivasi pasien yang selalu melawan untuk dapat bekerja sama (co-operative), yang selalu tidak fokus menjadi fokus dan yang selalu gagal menjadi berusaha untuk selalu menyelesaikan pekerjaannya. Pasien yang juga selalu jelek/gagal dalam hal lain, dapat menerima bantuan spesial dan kompensasi yang baik melalui terapi musik ini.
Body-image dan kesadaran juga dapat meningkat melalui terapi musik ini. Galloway & Bean (1974) menemukan bahwa aktivitas bernyanyi dan melakukan gerakan pada musik juga efektif. Robbins & Robbins (1980) juga menekankan pentingnya realistis dan positif pada diri sendiri. Mereka menemukan juga bahwa kecakapan dalam bergerak yang dipelajari melalui musik dapat meningkatkan rasa percaya diri, koordinasi, sikap tenang yang alami dan kesadaran akan jati diri.
Bernyanyi, bermain atau bergaya pada suatu lagu dapat menghasilkan seseorang untuk dapat berekspresi dan puas terhadap diri secara emosional. Gfeller & Darrow (1987) menyarankan bahwa bergaya atau bernyanyi pada lagu yang dibuat sendiri, juga dapat membuat seseorang tuna rungu untuk mengekspresikan atau mengilustrasikan pikirannya, perasaannya dan idenya bila hal itu terlalu sulit untuk dituliskan. Staum (1987) juga menemukan bahwa tehnik dan prosedur terapi musik dapat memberikan suatu skill yang fungsional yang dapat terintegrasi langsung di dalam pelajaran musik secara private maupun secara klasikal. Melalui suatu cara yang dapat di transfer diluar sesi terapi, seseorang lebih bisa dan senang untuk berekspresi pada situasi baru , bertemu orang baru, dan dapat bekerja dalam suatu grup-grup. Hal ini sebaliknya pula memberikan suatu rasa tanggung jawab sosial juga kesadaran, kebanggan dan kepercayaan diri dan sosial.
Sumber : http://davinbintang.wordpress.com/2008/06/04/terapi-musik-bagi-untuk-tuna-rungu/
Kerusakan pendengaran ditengarai merupakan salah satu kecacatan syaraf yang paling merusakkan. Dimana kecacatan penglihatan merupakan handicap kita dengan sekeliling kita, sedangkan kecacatan pendengaran merupakan handicap komunikasi dengan masarakat (Darrow, 1989). Komunikasi merupakan dasar dari kehidupan social kita dan aktivitas intelektual, dan tanpa itu kita terputus dari dunia. Untuk alasan inilah, praktek klinik dalam terapi musik untuk tuna rungu di fokuskan pada area yang berhubungan dengan komunikasi seperti : pelatihan auditory, produksi suara (berbicara) dan perkembangan bahasa. Melalui penelitian dalam kekurangan pada komunikasi ini, terapi musik menjadi suatu efek kedua untuk memperbaiki rasa sosial dan kepercayaan diri.
Terapi musik masih dianggap tidak praktis. Dikarenakan sebagian besar orang masih mempunyai konsep yang salah terhadap ketuna runguan dalam kapasitasnya untuk mendengar dan mengapresiasi stimulus musik. Seperti yang telah Darrow (1989) katakan, hanya sebagian kecil persentasi dari ketunarunguan yang tidak bisa mendengar sama sekali. Selanjutnya ia mengatakan bahwa, dikarenakan variasi dari frekuensi dan intensitas pada musik, persepsi musik malah lebih bisa ter-akses, dibandingkan dengan sinyal percakapan yang lebih kompleks. Musik juga sangat fleksible dan dapat dimodifikasikan pada level pendengaran pada setiap orang, level bahasa, kematangan dan preferensi musik.
Robbins & Robbins (1980), yang membuat manual resource yang komprehensif dan kurikulum bagi terapi musik untuk tuna runggu melakukan pendekatan terhadap subyek bersangkutan dengan mempunyai sikap yang mempercayai bahwa sense terhadap musik ada pada setiap orang. Melalui musik, mereka mengarah pada sensitivitas yang inherent dan kapasitas merespon langsung kepada ekspresi dari ritme dan variasi nada, yang dideskripsikan sebagai musik. Mereka juga menekankan, bahwa musik dari berbagai sisi mempunyai efek pada manusia. Musik merupakan media untuk aktivitas dalam bereksplorasi dan pengalaman diri, sehingga berhubungan langsung pada bicara dan bahasa, komunikasi dan pikiran, juga pada ekspresi tubuh dan emosi dalam skala besar. Sehingga terapi musik dapat masuk dan meningkatkan habilitas dan perkembangan secara luas bagi ketuna runguan.
Bagi penderita tuna rungu, terapi musik dapat:
Meningkatkan auditory, pelatihan dan perluasan penggunaan dari sisa pendengaran
Auditory training, merupakan bagian yang terintegrasi denga proses habilitasi pada penderita tunarungu. Tiap individu harus belajar untuk menginterpretasikan dan mengikuti suara, terutama percakapan dalam lingkungannya, dengan maksud untuk meningkatkan rate dan kulitas perkembangan sosial dan komunikasi. Tujuan utama dari auditory training ini adalah untuk mengembakan sisa pendengaran menjadi maksimal. Mereka harus belajar untuk mendengarkan mental yang kompleks dan proses aural. Pelatihan auditori cenderung fokus pada developmment dan fokus untuk analisis suara untuk pasien tuna rungu, dan ini akan menjadikan suatu proses yang membosankan dan tidak menarik. Maka dari itu musik menjadi suatu alat yang memotivasi dan menghidupkan sesi-sesi ini.
Percakapan dan musik mengandung banyak persamaan. Persepsi auditori pada percakapan dan musik melibatkan kemampuan untuk membedakan antara perbedaan suara, pitch, durasi, intensitas dan warna nada dan bagaimana suara bisa berubah-ubah sepanjang waktu. Properti-properti ini terdapat pada kemampuan pendengaran untuk menginterpretasi suara dan mengartikannya. Persamaan yang ada antara musik dan percakapan menyebabkan musik dan terapi musik membuat suatu alternatif dan alat yang menyenangkan untuk melengkapi tehnik pelatihan auditory sebelumnya (Darrow, 1989).
Prosedur terapi musik dapat dapat memberikan beberapa obyek pada pelatihan auditory. Perhatian terhadap suara, perhatian terhadap perbedaan dalam suara, mengenali obyek dan juga suara obyek tersebut, dan penggunaan pendengaran untuk menentukan jarak dan lokasi dari suara dapat dilatih melalui pengalaman pada musik (Darrow 1989). Selain itu, Robbins & Robbins (1980) menemukan bahwa dengan musik yang cocok lebih gampang untuk di dengar dan diasimilasikan dibandingkan dengan percakapan, sehingga lebih cocok untuk dapat menstimulasi motivasi alami pada sisa pendengaran.
Amir & Schuchman (1985) membuat suatu program terapi musik untuk mengembangkan dan meningkatkan kecakapan dalam kesadaran akan suara musik, kesadaran akan kontras intensitas, menyadari adanya suara musik dan juga patron dari musik tersebut. Suatu investigasi untuk melihat keefektifan dari program tersebut memberikan suatu hasil bahwa ada aspek-aspek tertentu untuk seseorang yang profoundly deaf dapat diukur peningkatannya melalui suatu program sistimatik pada pelatihan pendengarannya dalam konteks musikal. Terutama level pendiskriminasian subyek secara signifikan meningkat dan pelatihan dari subyek dalam menerima musik dan juga lingkungan musik tersebut. Amir & Schuchman selanjutnya menyuport penggunaan terapi musik ini dikarenakan hal ini memberikan suatu diversifikasi yang menarik dan pengalam pengajaran yang positif, dengan memperkuat penggunaan sisa pendengaran. Meningkatkan perkembangan percakapan dan meningkatkan intonasi/ritme suara dalam percakapan.
Suara dari seseorang yang mempunyai kekurangan pendengaran sering terdengar aneh dan tidak natural. Pada individu ini sering terjadi kurangnya feedback mekanisme internal yang diperlukan untuk memonitor dan menyesuaikan, sebagai contoh, pelafalan kata-kata, perubahan tinggi rendah (pitch) suara ataupun ritme suara. Sebagai konsekuensi produksi dari suara percakapan mereka sering tidak jelas dan terdistorsi. Penderita tuna rungu ini juga cenderung menunjukkan sedikit variasi pitch dan intonasi dibandingkan orang dengan pendengaran normal, sehingga menghasilkan suara yang monoton. Mereka sering memanjangkan suku kata dan atau kalimat dan juga sering mengambil jeda pada posisi yang tidak tepat. Problem-problem dari ritme dan intonasi ini berpengaruhi pada ketidak jelasan dalam bercakap.
Tehnik dari terapi dan aktivitas musik dapat membantu secara efektif pada perkembangan percakapan dari segi ritme, intonasi, rate dan tekanan suara. Darrow (1989) mendisikusikan penggunaan terapi musik dalam pengertian berbahasa, intonasi vokal, kualitas vokal dan berbicara lancar. Proses bernafas, ritme dan pengambilan waktu yang tepat, pitch dan artikulasi yang diperlukan untuk bernyanyi, memberikan struktur dan motivasi yang penting pagi pasien. Darrow juga menekankan pada pentingnya feedback yang konstan untuk si terapis.
Darrow & Starmer (1986) mempelajari efek dari pelatihan vokal pada frekuensi dasar, range frekuensi dan kecepatan percakapan pada suara anak-anak tuna rungu. Anak-anak ini cenderung mempunyai frekuensi dasar yang tinggi dan sedikit variasi pitch, memproduksi suatu permasalahan dalam kecakapan berbicara. Hasil dari studi ini menyarankan bahwa dengan latihan pada vokal tertentu dan menyanyikan lagu-lagu pada kunci nada rendah yang tepat dapat membantu memodifikasian frekuensi dasar dan range frekuensi pada pasien. Studi lain dari Darrow (1984) juga menunjukkan peran dari terapi musik adalah melatih respons ritme, sehingga membuat respons pada ritme dari suara percakapan menjadi lebih baik.
Staum (1987) telah sukses menggunakan notasi musik untuk mempengaruhi dalam memperbaiki pengucapan bahasa pasien. Ia menggunakan sistem notasi visual sebagai alat untuk membantu pasien dalam mencocokkan kata-kata atau suara dari kata-kata baik yang lazim maupun tidak lazim, dengan ritme yang tepat dan struktur yang dari pitch yang mudah. Hasil positif yang didapat adalah nada pelafalan pengucapan lebih berkembang, juga penyamarataan dan transfer ilmu berkembang secara signifikan
Robbins & Robbins (1980), setelah pelatihan pada pasien tunarungu, mengatakan bahwa kontribusi dari terapi musik untuk memperkuat dan/atau mempercepat pembelajaran dan penggunaan percakapan, vokal yg lebih luas/spontan dan mantap, memperbaiki kualitas suara dan lebih leluasa dalam menggunakan intonasi dan ritme.
Meningkatkan perkembangan dan pendidikan bahasa, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara umum
Bagi anak-anak tuna rungu, keterbatasan input pendengaran tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk mendengar suara percakapan dari orang lain, namun juga mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan bahasa mereka sendiri. Keteraturan memperdengarkan bahasa melalui pendengaran, memberikan informasi penting mengenai vocabulary, syntax (kalimat), semantics (arti kata) dan pragmatics, yang mana hal ini secara langsung diterima oleh anak dengan pendengaran normal. Tanpa keteraturan mendengarkan ini, bagi anak dengan pendengaran terbatas biasanya akan mempunyak banyak problem pada bahasa mereka. Kesulitan itu biasanya terdapat pada kurangnya vocabulary, kesulitan dalam mengartikan kata, menggunakan kata yang salah, struktur dan isi bahasa yang salah, dan lainnya. Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan bahsa ini selanjutnya akan menghalangi individu tersebut dari komunikasi yang mempunyai arti dan juga berinteraksi. Problem berbahasa dapat menimbulkan efek negatif pada pendidikan seperti membaca, menulis dan pemahaman (Gfeller, & Baumann, 1988).
Secara signifikan terapi musik memberikan konstribusi pada kemampuan untuk berkomunikasi dan berbahasa pada pasien tuna rungu. Sebagai contoh Gfeller (1990), mendiskusikan tentang pengayaan repertoire musik dan pengalaman bergerak dalam terapi musik, yang dapat di gabungkan dengan percakapan dan, setelahnya penulisan kata. Anak-anak kecil terutama menggunakan setiap saat pergerakan motorik dan belajar sesuatu melalui manipulasi dari lingkungannya. Instrument musik dan materialnya kaya akan sumber-sumber keterlibatan pada sensorik dan motorik. Pengalaman pada Multi sensory bahwa musik merupakan alat pembelajaran yang bernilai, yang pada akhirnya juga terkait pada representasi mental atau simbol, Gfeller (1990). Event musik dan sekuensialnya dapat dibuat oleh para terapis sebagai model penggunaan bahasa untuk anak. Semenjak rehabilitasi bahasa merupakan suatu proses yang panjang dan lama, terapis musik dapat memberikan motivasi penting untuk membuat aktifitas menjadi bermain dan menyenangkan. Aktivitas dalam terapi musik dapat juga membuat suatu oportuniti untuk menggunakan konsep bahasa dalam konteks yang berbeda
Penelitian lain juga menemukan bahwa integrasi musik dalam pendidikan sebagai bahasa seni sangat menguntungkan (Darrow, 1989; Gfeller, & Darrow, 1987). Tidak hanya meningkatkan motivasi tapi juga memberikan sebuah pendekatan multi sensori untuk belajar, yang dapat membantu pasien untuk mendalami arti dari kata-kata baru. Bernyanyi contohnya, memberikan suatu kesempatan untuk secara intensif menggunakan pendengaran dan beraktifitas vokal. Mempelajari lagu dapat menstimulasi latihan dalam pembedaan auditori, membedakan dan meleburkan bunyi huruf, pengucapan suku-suku kata dan pelafalan kata (Gfeller, & Darrow, 1987). Hal ini dapat juga membantu mengembangkan penguasaan kata-kata dan memberikan suatu pengalaman dalam belajar membuat struktur kalimat dan semantiknya. Membuat lagu dapat juga bertujuan sama. Lagu juga mempunyai kelebihan dalam melafalkan suatu patron nada, menjadi tidak monoton.
Disamping meningkatkan perkembangan bahasa dan mendidik bahasa pada pasien tuna rungu, terapi musik juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan memberikan semacam kesadaran dan kemampuan melihat suatu arti yang diselaraskan/disampaikan melalui “nada pada suara”. Hal-hal penting didalam berkomunikasi dengan orang lain adalah espresi wajah, body language, dan pitch serta intensitas dinamik. Kesadaran dan kepekaan terhadap style dari bahasa yang diucapkan oleh diri sendiri dan orang lain, dapat diberikan dengan berhasil melalui penerapan terapi musik. Dengan menggayakan suatu lagu dan memberi isyarat pada lagu dengan cara yang “gaya baik/indah”, seseorang dapat mempelajari untuk menggunakan dan menyadari nuansa dalam berkomunikasi dengan yang lain (Gfeller, & Darrow, 1987). Berisyarat dalam bernyanyi juga memberikan suatu kesempatan untuk mengeksplorasikan ekspresi dari emosi sendiri, karena lirik dan melodi secara persamaan dapat mengungkapakan suatu ekspresi jiwa dibandingkan dengan hanya berbicara.
Mengembangkan jiwa sosialisasi, kesadaran diri, kepuasan emosinal dan meningkatkan kepercayaan diri
Didalam beberapa literatur mengkarakterkan bahwa seseorang tuna rungu mempunya perasaan kuat akan rendah diri dan depresi, juga mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi dan tertutup (lihat ulasan ulang dari Galloway, & Bean, 1974). Body-image dan kesadaran yang tidak terlalu baik, kurangnya berbahasa dan berkomunikasi, dan tertutupnya rasa sosialisasi, memberikan kontribusi secara signifikan pada perasaan-perasaan ini. Terapi musik dapat memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaiki masalah ini dan meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang tuna rungu.
Brick (1973) menemukan eurhythmics—Seni dari keharmonisan dan gerak tubuh yang ekspresif—dan aktifitas musik yang memberikan pasien suatu pengalaman yang menyenangkan, dimana hal tersebut memberikan energi kreatif untuk pasien. Hal ini sebaliknya membantu mengembangkan kepercayaan diri, memberi rasa bangga dalam menyelesaikan sesuatu dan bekerja sama dalam satu grup. Robbins & Robbins (1980) juga menemukan bahwa aktifitas kelompok musik dapat memberikan contoh untuk menyesuaikan didalam bersosialisasi. Hasil hakiki yang didapat dalam pengalaman bermusik sepertinya dapat memotivasi pasien yang selalu melawan untuk dapat bekerja sama (co-operative), yang selalu tidak fokus menjadi fokus dan yang selalu gagal menjadi berusaha untuk selalu menyelesaikan pekerjaannya. Pasien yang juga selalu jelek/gagal dalam hal lain, dapat menerima bantuan spesial dan kompensasi yang baik melalui terapi musik ini.
Body-image dan kesadaran juga dapat meningkat melalui terapi musik ini. Galloway & Bean (1974) menemukan bahwa aktivitas bernyanyi dan melakukan gerakan pada musik juga efektif. Robbins & Robbins (1980) juga menekankan pentingnya realistis dan positif pada diri sendiri. Mereka menemukan juga bahwa kecakapan dalam bergerak yang dipelajari melalui musik dapat meningkatkan rasa percaya diri, koordinasi, sikap tenang yang alami dan kesadaran akan jati diri.
Bernyanyi, bermain atau bergaya pada suatu lagu dapat menghasilkan seseorang untuk dapat berekspresi dan puas terhadap diri secara emosional. Gfeller & Darrow (1987) menyarankan bahwa bergaya atau bernyanyi pada lagu yang dibuat sendiri, juga dapat membuat seseorang tuna rungu untuk mengekspresikan atau mengilustrasikan pikirannya, perasaannya dan idenya bila hal itu terlalu sulit untuk dituliskan. Staum (1987) juga menemukan bahwa tehnik dan prosedur terapi musik dapat memberikan suatu skill yang fungsional yang dapat terintegrasi langsung di dalam pelajaran musik secara private maupun secara klasikal. Melalui suatu cara yang dapat di transfer diluar sesi terapi, seseorang lebih bisa dan senang untuk berekspresi pada situasi baru , bertemu orang baru, dan dapat bekerja dalam suatu grup-grup. Hal ini sebaliknya pula memberikan suatu rasa tanggung jawab sosial juga kesadaran, kebanggan dan kepercayaan diri dan sosial.
Sumber : http://davinbintang.wordpress.com/2008/06/04/terapi-musik-bagi-untuk-tuna-rungu/
Komentar : Leave a Comment »
Kategori : Tuna Rungu
MENGEMBANGKAN RASA PERCAYA DIRI ANAK TUNARUNGU SEJAK DINI
28 11 2009
Oleh : Dwi (ibu Didan)
Ada hubungan yang kuat antara bagaimana perasaan seseorang terutama bagi anak dengan tunarungu terhadap dirinya sendiri dan bagaimana cara ia berperilaku. Oleh karena itu, anak tunarungu perlu dibantu untuk menumbuhkan rasa percaya diri agar eksistensi mereka bisa disejajarkan dengan anak normal.
Beberapa cara untuk membantu anak tunarungu meningkatkan percaya diri:
1. Lakukan attachment parenting :
Sikap orang tua yang responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan anak, sehingga anak mengetahui apa yang diharapkan dari diri mereka dan merasa memiliki kontrol terhadap lingkungan. Jika tidak, mereka merasa tidak berharga sehingga membuat mereka berpikir tidak berharga,butuh dikasihani dan putus asa.
2. Tindakan / perbaiki kepercayaan diri anda sendiri sebagai orang tua :
Mengasuh anak adalah kegiatan terapeutik. Jika ada problem masa lalu yang mempengaruhi pola asuh yang sedang dilakukan orangtua, sebaiknya ia mencari pertolongan psikologis dan mengkonfirmasikannya. Jika orang tua memiliki selfimage yang buruk, khususnya jika ia merasa bahwa itu disebabkan karena pola asuh orang tuanya dahulu, maka cobalah untuk menghentikan pola asuh keluarga yang buruk itu.
3.Jadilah cermin yang positif :
Khususnya pada anak-anak prasekolah yang sedang belajar tentang dirinya sendiri,akan tergantung dari reaksi-reaksi orang tua mereka. Apakah orang tua merefleksikan gambaran yang positif / negative pada anak-anak mereka ?? Apakah orang tua memberikan pandangan pada anak bahwa ia menyenangkan ?? Pendapat dan keinginannya berharga untuk orang tuanya ? Pada saat orangtua memberikan refleksi positif terhadap anaknya, maka anak tersebut akan berpikir positif tentang dirinya.
4.Beramainlah dengan anak :
Ada saat anak bermain anak akan menerima pesan bahwa ia berharga. Pandanglah bermain sebagai investasi dalam perilaku anak, kesempatan kepada anak unuk merasa spesial, bisa mengungkapkan inisiatif tentang permainan yang akan dilakukan.
5.Panggilah anak dengan namanya :
Memanggil anak dengan namanya dan disertai dengan kontak mata akan memberikan pesan kepada anak tersebut bahwa ia special. Anak belajar mengasosiasikan bagaimana cara orang tua menggunakan namanya dengan perilaku yang diharapkan darinya.
6.Lakukan prinsip berkelanjutan
Pada saat anak bertambah besar, kembangkanlah potensi / talenta (bakat) yang ia miliki. Bila anak menikmati suatu aktifitas, ia akan memiliki citra diri(sel-image) yang lebih positif dan dapat berlanjut pada aktifitas-aktifitas lain.
Contohnya : meningkatkan kesenangannya & kenikmatan yang diperoleh anak dari kegiatan renang-nya sekaligus dengan mendukungnya pada bidang akademis.
7.Bantu anak untuk mencapai kesuksesannya :
Mengenali kemampuan anak, memberi s e m a n g a t untuk mencoba mengembangkan kemampuan tersebut. Jika orangtua tidak melindungi anaknya dari harapan-harapan yang tidak realistis , maka rasa bersaingnya (kompetisi-nya) akan terancam. Pastikan bahwa anak percaya b a h w a orangtuanya menghargai-nya karena siapa diri-nya, bukan karena penampilanya.
8.Lindungi anak dari orang-orang yang dapat merusak self-esteemnya
Dengan pola asuh ini selama 3 tahun pertama kehidupan anak telah dapat dipertahankan hubungan yang erat dengan anak , maka orangtua telah memberikan dasar yang kuat mengenai nilai-nilai tentang rumah, k e l u a r g a dan h u b u n g a n interpersonal-nya. Sebagai hasilnya, anak dapat mengembangkan hati nurani dan rasa hormat terhadap kebijaksanan pengasuhan sehingga dimasa yang akan datang anak dapat memasuki kehidupan nyata dengan aman tanpa harus terhanyut dengan pergaulan yang negative.Hati-hati dengan pemilihan teman-teman baik disekolah ataupun diluar sekolah, karena nilai-nilai (values) & konsep diri anak dipengaruhi oleh orang-orang yang memiliki peran penting dalm hidupnya seperti saudara, guru, teman-teman dll.
9.Berikan tanggung jawab pada anak :
Dengan melibatkan anak pada aktifitas dirumah maupun diluar rumah, memberikan tugas-tugas rumah tangga, dapat membantu mereka merasa berharga,menyalurkan tenaga mereka ke perilaku yang bermanfaat dan mengajarkan ketrampilan-ketrampilan.
Sumber : http://daneshvara.multiply.com/journal/item/8
Ada hubungan yang kuat antara bagaimana perasaan seseorang terutama bagi anak dengan tunarungu terhadap dirinya sendiri dan bagaimana cara ia berperilaku. Oleh karena itu, anak tunarungu perlu dibantu untuk menumbuhkan rasa percaya diri agar eksistensi mereka bisa disejajarkan dengan anak normal.
Beberapa cara untuk membantu anak tunarungu meningkatkan percaya diri:
1. Lakukan attachment parenting :
Sikap orang tua yang responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan anak, sehingga anak mengetahui apa yang diharapkan dari diri mereka dan merasa memiliki kontrol terhadap lingkungan. Jika tidak, mereka merasa tidak berharga sehingga membuat mereka berpikir tidak berharga,butuh dikasihani dan putus asa.
2. Tindakan / perbaiki kepercayaan diri anda sendiri sebagai orang tua :
Mengasuh anak adalah kegiatan terapeutik. Jika ada problem masa lalu yang mempengaruhi pola asuh yang sedang dilakukan orangtua, sebaiknya ia mencari pertolongan psikologis dan mengkonfirmasikannya. Jika orang tua memiliki selfimage yang buruk, khususnya jika ia merasa bahwa itu disebabkan karena pola asuh orang tuanya dahulu, maka cobalah untuk menghentikan pola asuh keluarga yang buruk itu.
3.Jadilah cermin yang positif :
Khususnya pada anak-anak prasekolah yang sedang belajar tentang dirinya sendiri,akan tergantung dari reaksi-reaksi orang tua mereka. Apakah orang tua merefleksikan gambaran yang positif / negative pada anak-anak mereka ?? Apakah orang tua memberikan pandangan pada anak bahwa ia menyenangkan ?? Pendapat dan keinginannya berharga untuk orang tuanya ? Pada saat orangtua memberikan refleksi positif terhadap anaknya, maka anak tersebut akan berpikir positif tentang dirinya.
4.Beramainlah dengan anak :
Ada saat anak bermain anak akan menerima pesan bahwa ia berharga. Pandanglah bermain sebagai investasi dalam perilaku anak, kesempatan kepada anak unuk merasa spesial, bisa mengungkapkan inisiatif tentang permainan yang akan dilakukan.
5.Panggilah anak dengan namanya :
Memanggil anak dengan namanya dan disertai dengan kontak mata akan memberikan pesan kepada anak tersebut bahwa ia special. Anak belajar mengasosiasikan bagaimana cara orang tua menggunakan namanya dengan perilaku yang diharapkan darinya.
6.Lakukan prinsip berkelanjutan
Pada saat anak bertambah besar, kembangkanlah potensi / talenta (bakat) yang ia miliki. Bila anak menikmati suatu aktifitas, ia akan memiliki citra diri(sel-image) yang lebih positif dan dapat berlanjut pada aktifitas-aktifitas lain.
Contohnya : meningkatkan kesenangannya & kenikmatan yang diperoleh anak dari kegiatan renang-nya sekaligus dengan mendukungnya pada bidang akademis.
7.Bantu anak untuk mencapai kesuksesannya :
Mengenali kemampuan anak, memberi s e m a n g a t untuk mencoba mengembangkan kemampuan tersebut. Jika orangtua tidak melindungi anaknya dari harapan-harapan yang tidak realistis , maka rasa bersaingnya (kompetisi-nya) akan terancam. Pastikan bahwa anak percaya b a h w a orangtuanya menghargai-nya karena siapa diri-nya, bukan karena penampilanya.
8.Lindungi anak dari orang-orang yang dapat merusak self-esteemnya
Dengan pola asuh ini selama 3 tahun pertama kehidupan anak telah dapat dipertahankan hubungan yang erat dengan anak , maka orangtua telah memberikan dasar yang kuat mengenai nilai-nilai tentang rumah, k e l u a r g a dan h u b u n g a n interpersonal-nya. Sebagai hasilnya, anak dapat mengembangkan hati nurani dan rasa hormat terhadap kebijaksanan pengasuhan sehingga dimasa yang akan datang anak dapat memasuki kehidupan nyata dengan aman tanpa harus terhanyut dengan pergaulan yang negative.Hati-hati dengan pemilihan teman-teman baik disekolah ataupun diluar sekolah, karena nilai-nilai (values) & konsep diri anak dipengaruhi oleh orang-orang yang memiliki peran penting dalm hidupnya seperti saudara, guru, teman-teman dll.
9.Berikan tanggung jawab pada anak :
Dengan melibatkan anak pada aktifitas dirumah maupun diluar rumah, memberikan tugas-tugas rumah tangga, dapat membantu mereka merasa berharga,menyalurkan tenaga mereka ke perilaku yang bermanfaat dan mengajarkan ketrampilan-ketrampilan.
Sumber : http://daneshvara.multiply.com/journal/item/8
Komentar : Leave a Comment »
Kategori : Tuna Rungu
Informasi Tentang Anak Tuna Rungu, Belajar Mendengar
28 11 2009
Oleh: Dr. Rosmadewi, And.TW
dalam Makalah “Mengajar Anak Bicara” yang diberikan pada Simposium
Sehari “Mengenal Keterlambatan Wicara Pada Anak” (7 Agustus 2004)
Mar 17, ’08 10:26 AM
Aktivitas sehari-hari pada anak-anak dapat digunakan untuk meningkatkan pendengaran, ujaran, bahasa dan berpikir. Perkembangan untuk meningkatkan pendengaran, terbagi dalam 3 bagian:
1. Diskriminasi fonem dalam suku kata.
2. Diskriminasi perkataan dalam ungkapan.
3. Memori auditori.
Bahasa dikembangkan melalui peningkatan pendengaran dengan menggunakan wicaranya berulang-ulang dan dengan perbedaan akuistik yang baik. Terapis harus mulai dari apa yang dipahami dan bermakna pada anak-anak tersebut. Bahasa dan berpikir dibina bersama kemudian dikembangkan dalam bahasa lisan, disesuaikan dengan cara berkomunikasi.
Dalam meningkatkan fungsi pendengaran, terdapat hubungan antara pendengaran, wicara, bahasa dan pemikiran di dalam semua aktivitas sehari-hari, dimana sasaran itu digolongkan di dalam 1 aktivitas. Belajar mendengar tidak berhubungan dengan umur.
1. Meningkatkan pendengaran dengan cara duduk bersebelahan dan dekat dengan pengguna Alat Bantu Dengar.
2. Mengurangi bunyi bising di sekitarnya, seperti bunyi radio, televisi, AC dan sebagainya.
3. Bantu anak-anak itu dengan cara menggunakan “motherese” agar wicaranya lebih jelas.
4. Pilih aktivitas yang sesuai dengan minat dan umur anak-anak tersebut.
Tahapan-Tahapan Peningkatan Kemampuan Pendengaran:
1. Deteksi
Untuk mengetahui ada atau tidaknya bunyi dilakukan dalam permainan, dimana anak-anak belajar memberi jawaban terhadap bunyi yang ia dengar. Frekuensi vocal yang mudah seperti (oo), yang sedang (ah) dan (brem-m-m), lebih mudah dideteksi oleh anak-anak, oleh karena mereka sering mendengar bunyi-bunyi konsonan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan bunyi-bunyi konsonan (m-m-m), (b-b-b) dan bisikan (baa), maka akan menambah pengenalan pendengaran.
2. Diskriminasi
Membedakan bunyi dalam hal kualitas, intensitas, durasi dan nada. Apabila anak-anak keliru dalam berkata, maka mereka harus belajar membedakan bunyi dulu.
3. Identifikasi
Bila anak-anak itu mulai menggunakan perkataan yang bermakna, maka orang tua dapat menambah bagaimana pendengaran anak tersebut dalam pembendaharaan katanya melalui permainan atau aktivitas sehari-hari.
4. Pemahaman
Dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan, bercerita dan memberikan lawan kata.
Perkembangan Kemampuan Pendengaran
Perbedaan fonem dalam suku kata:
• Menanggapi variasi vokal. Contoh: /u/, /a/, /i/ dan suara (br-r-r).
• Menanggapi variasi konsonan. Contoh: (m-m-m), (b-b-b) dan (wa-wa).
• Peniruan gerakan fisik (permulaan untuk bicara).
• Mempergunakan peniruan kiu tangan (untuk produksi fonem spontan).
• Peniruan kualitas variasi suara supra segmental pada fonem atau variasikan nada, irama dan durasi. Contoh: (ae-ae) (ae-ae), (ma) (ma), (m-a-a-a).
• Peniruan pertukaran vokal diftong. Contoh: (a-u) (u-i) (a-i).
• Peniruan variasi konsonan pada friktatif (gesekan, mis: f-v), nasal (sengau, mis: m-ng) dan posif (letusan, mis: p-t). Contoh: /h/ /h/ dengan /m/ /m/ /m/ dengan /b/ /b/.
• Peniruan konsonan bersuara dan tidak bersuara, contoh: /b/ /b/ dengan /p/ /p/, kemudian variasikan dengan vokal. Contoh: (bo-bo) (pae-pae).
• Peniruan suku kata dengan konsonan-vokal. Contoh: (ba-bo), (mi-mu).
• Ganti komponen yang berlainan dan variasikan dengan vokal. Contoh: (ma-ma) (no-no); (bi-bi) (go-go).
• Variasikan suku kata konsonan dengan vokal yang sama. Contoh: (bi-di), ko-go).
Perbedaan perkataan dalam ungkapan:
• Memperkenalkan bunyi untuk kata yang bermakna. Contoh: ngung-ngung pesawat, ngeng-ngeng motor; tut-tut kereta api.
• Memperkenalkan 2 suku kata berlainan pada kata yang bermakna. Contoh: pisang, bunga.
• Memperkenalkan kata yang bermakna konsonan awal sama dan vokal yang bervariasi. Contoh: bola, botak, bonsai.
• Memperkenalkan kata-kata yang bermakna dengan perbedaan konsonan yang khas untuk p.o.a (point of articulation-penempatan alat ucap) dan m.o.a (manner of articulation -caranya).
• Memperkenalkan konsonan awal yang sama dan konsonan akhir yang berlainan. Contoh: cap, cat.
Memori Pendengaran:
• Mulailah dengan suara-suara yang berhubungan. Contoh: tik-tok dengan moo-oo-oo.
• Memahami dan melakukannya. Contoh: tutup pintu, buka pintu.
• Memperkenalkan kalimat dan mengulang kata-kata terakhir, kemudian kata-kata tengah. Contoh: Di mana bola kemudian lempar, lempar, lempar. Pegang hidung, hidung, hidung mancung.
• Memperkenalkan kalimat, dimana kata akhir diletakkan di tengah. Contoh: Ambil gelas kemudian letakkan gelas di atas meja.
• Pilih 2 objek kata dalam 1 kalimat. Contoh: Beri saya bola dan sepatu. Cuci kedua tanganmu.
• Memperkenalkan obyek dengan cara mendengarkan uraian dalam kalimat. Contoh: Bila engkau mempunyai sayap, engkau dapat melakukan terbang ke atas langit.
• Pilih 3 unit:
– 3 obyek. Contoh: saya mau buku, jeruk dan topi.
– Kata benda, kata depan. Contoh: anjing itu di bawah kursi.
– 2 obyek dan penghubung. Contoh: beri saya apel bukan jus apel.
– 2 kata benda ditambah kata kerja. Contoh: kuda dan ayam sedang minum, boneka dan kucing duduk di kursi.
– 1 kata kerja dan 2 obyek. Contoh: cuci tangan dan kaki.
• Memperkenalkan 4 sampai 5 unit:
– 4 obyek. Contoh: beri saya apel, buku, pensil dan penghapus.
– 2 kata kerja. Contoh: bapak sedang tidur dan ibu sedang duduk.
– Variasikan perbedaan kata penghubung, kata depan dan kata kerja. Contoh: ambil apel atau nanas di samping gelas itu atau berikan ibu jam bukan gelang.
– Menambah keterangan waktu. Contoh: sebelum kamu tidur harus gosok gigi dulu.
– Menambah uraian dalam kalimat. Contoh: Bapak makan kue dan minum teh kemudian duduk di depan televisi.
• Melakukan percakapan dari topik yang telah diketahuinya.
• Mendengarkan cerita dan menjawab pertanyaan.
• Melakukan percakapan dengan topik yang diketahui oleh keluarganya.
Sumber : http://anaktunarungu.multiply.com/journal/item/11
Mar 17, ’08 10:26 AM
Aktivitas sehari-hari pada anak-anak dapat digunakan untuk meningkatkan pendengaran, ujaran, bahasa dan berpikir. Perkembangan untuk meningkatkan pendengaran, terbagi dalam 3 bagian:
1. Diskriminasi fonem dalam suku kata.
2. Diskriminasi perkataan dalam ungkapan.
3. Memori auditori.
Bahasa dikembangkan melalui peningkatan pendengaran dengan menggunakan wicaranya berulang-ulang dan dengan perbedaan akuistik yang baik. Terapis harus mulai dari apa yang dipahami dan bermakna pada anak-anak tersebut. Bahasa dan berpikir dibina bersama kemudian dikembangkan dalam bahasa lisan, disesuaikan dengan cara berkomunikasi.
Dalam meningkatkan fungsi pendengaran, terdapat hubungan antara pendengaran, wicara, bahasa dan pemikiran di dalam semua aktivitas sehari-hari, dimana sasaran itu digolongkan di dalam 1 aktivitas. Belajar mendengar tidak berhubungan dengan umur.
1. Meningkatkan pendengaran dengan cara duduk bersebelahan dan dekat dengan pengguna Alat Bantu Dengar.
2. Mengurangi bunyi bising di sekitarnya, seperti bunyi radio, televisi, AC dan sebagainya.
3. Bantu anak-anak itu dengan cara menggunakan “motherese” agar wicaranya lebih jelas.
4. Pilih aktivitas yang sesuai dengan minat dan umur anak-anak tersebut.
Tahapan-Tahapan Peningkatan Kemampuan Pendengaran:
1. Deteksi
Untuk mengetahui ada atau tidaknya bunyi dilakukan dalam permainan, dimana anak-anak belajar memberi jawaban terhadap bunyi yang ia dengar. Frekuensi vocal yang mudah seperti (oo), yang sedang (ah) dan (brem-m-m), lebih mudah dideteksi oleh anak-anak, oleh karena mereka sering mendengar bunyi-bunyi konsonan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan bunyi-bunyi konsonan (m-m-m), (b-b-b) dan bisikan (baa), maka akan menambah pengenalan pendengaran.
2. Diskriminasi
Membedakan bunyi dalam hal kualitas, intensitas, durasi dan nada. Apabila anak-anak keliru dalam berkata, maka mereka harus belajar membedakan bunyi dulu.
3. Identifikasi
Bila anak-anak itu mulai menggunakan perkataan yang bermakna, maka orang tua dapat menambah bagaimana pendengaran anak tersebut dalam pembendaharaan katanya melalui permainan atau aktivitas sehari-hari.
4. Pemahaman
Dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan, bercerita dan memberikan lawan kata.
Perkembangan Kemampuan Pendengaran
Perbedaan fonem dalam suku kata:
• Menanggapi variasi vokal. Contoh: /u/, /a/, /i/ dan suara (br-r-r).
• Menanggapi variasi konsonan. Contoh: (m-m-m), (b-b-b) dan (wa-wa).
• Peniruan gerakan fisik (permulaan untuk bicara).
• Mempergunakan peniruan kiu tangan (untuk produksi fonem spontan).
• Peniruan kualitas variasi suara supra segmental pada fonem atau variasikan nada, irama dan durasi. Contoh: (ae-ae) (ae-ae), (ma) (ma), (m-a-a-a).
• Peniruan pertukaran vokal diftong. Contoh: (a-u) (u-i) (a-i).
• Peniruan variasi konsonan pada friktatif (gesekan, mis: f-v), nasal (sengau, mis: m-ng) dan posif (letusan, mis: p-t). Contoh: /h/ /h/ dengan /m/ /m/ /m/ dengan /b/ /b/.
• Peniruan konsonan bersuara dan tidak bersuara, contoh: /b/ /b/ dengan /p/ /p/, kemudian variasikan dengan vokal. Contoh: (bo-bo) (pae-pae).
• Peniruan suku kata dengan konsonan-vokal. Contoh: (ba-bo), (mi-mu).
• Ganti komponen yang berlainan dan variasikan dengan vokal. Contoh: (ma-ma) (no-no); (bi-bi) (go-go).
• Variasikan suku kata konsonan dengan vokal yang sama. Contoh: (bi-di), ko-go).
Perbedaan perkataan dalam ungkapan:
• Memperkenalkan bunyi untuk kata yang bermakna. Contoh: ngung-ngung pesawat, ngeng-ngeng motor; tut-tut kereta api.
• Memperkenalkan 2 suku kata berlainan pada kata yang bermakna. Contoh: pisang, bunga.
• Memperkenalkan kata yang bermakna konsonan awal sama dan vokal yang bervariasi. Contoh: bola, botak, bonsai.
• Memperkenalkan kata-kata yang bermakna dengan perbedaan konsonan yang khas untuk p.o.a (point of articulation-penempatan alat ucap) dan m.o.a (manner of articulation -caranya).
• Memperkenalkan konsonan awal yang sama dan konsonan akhir yang berlainan. Contoh: cap, cat.
Memori Pendengaran:
• Mulailah dengan suara-suara yang berhubungan. Contoh: tik-tok dengan moo-oo-oo.
• Memahami dan melakukannya. Contoh: tutup pintu, buka pintu.
• Memperkenalkan kalimat dan mengulang kata-kata terakhir, kemudian kata-kata tengah. Contoh: Di mana bola kemudian lempar, lempar, lempar. Pegang hidung, hidung, hidung mancung.
• Memperkenalkan kalimat, dimana kata akhir diletakkan di tengah. Contoh: Ambil gelas kemudian letakkan gelas di atas meja.
• Pilih 2 objek kata dalam 1 kalimat. Contoh: Beri saya bola dan sepatu. Cuci kedua tanganmu.
• Memperkenalkan obyek dengan cara mendengarkan uraian dalam kalimat. Contoh: Bila engkau mempunyai sayap, engkau dapat melakukan terbang ke atas langit.
• Pilih 3 unit:
– 3 obyek. Contoh: saya mau buku, jeruk dan topi.
– Kata benda, kata depan. Contoh: anjing itu di bawah kursi.
– 2 obyek dan penghubung. Contoh: beri saya apel bukan jus apel.
– 2 kata benda ditambah kata kerja. Contoh: kuda dan ayam sedang minum, boneka dan kucing duduk di kursi.
– 1 kata kerja dan 2 obyek. Contoh: cuci tangan dan kaki.
• Memperkenalkan 4 sampai 5 unit:
– 4 obyek. Contoh: beri saya apel, buku, pensil dan penghapus.
– 2 kata kerja. Contoh: bapak sedang tidur dan ibu sedang duduk.
– Variasikan perbedaan kata penghubung, kata depan dan kata kerja. Contoh: ambil apel atau nanas di samping gelas itu atau berikan ibu jam bukan gelang.
– Menambah keterangan waktu. Contoh: sebelum kamu tidur harus gosok gigi dulu.
– Menambah uraian dalam kalimat. Contoh: Bapak makan kue dan minum teh kemudian duduk di depan televisi.
• Melakukan percakapan dari topik yang telah diketahuinya.
• Mendengarkan cerita dan menjawab pertanyaan.
• Melakukan percakapan dengan topik yang diketahui oleh keluarganya.
Sumber : http://anaktunarungu.multiply.com/journal/item/11
Komentar : Leave a Comment »
Kategori : Tuna Rungu
INTERAKSI SOSIAL ANAK TUNANETRA DI SLB
28 11 2009
Penulis: Uhay dan Irine Puspita (Guru SLB Negeri Subang)
Memasuki lingkungan baru selalu menjadi problema bagi semua orang. Apalagi bagi mereka yang mempunyai kebutuhan khusus yang diakibatkan oleh kelainan. Termasuk anak tunanetra. Baik bagi mereka yang baru masuk sekolah, maupun bagi mereka
yang sudah bersekolah. Persoalan berat akan sangat terasa bagi mereka yang baru
pertama kali memasuki dunia sekolah. Beragam kesan dan rasa muncul pada dirinya.
Umumnya lingkungan baru memberikan rasa tidak nyaman bagi anak tunanetra, kadang
dibarengi dengan ketakutan-ketakutan yang sangat berlebihan. Setiap langkah yang
ditapaki anak tunanetra menjadi masalah baginya. Teman yang menghampiri, menjadi
seseorang yang amat asing untuk dikenalnya. Ia akan menarik diri jika ada yang ingin
berkenalan dengannya. Sikap egois, cepat marah, mudah curiga, takut terhadap
lingkungan baru, dan sebagainya. Jelasnya, anak tunanetra kurang dapat melakukan
interaksi sosial yang memuaskan atau interaksi sosialnya mengalami keterbatasan.
Keadaan ini tentunya menimbulkan persoalan tidak saja bagi sang siswa, tetapi juga
bagi guru dan teman-teman di lingkungan sekitarnya.
Interaksi merupakan perhatian timbal balik antara dua orang atau lebih terhadap
suatu objek atau orang ke tiga. Perhatian timbal balik ini sering kali direspon
dengan isyarat, ujaran atau tindakan. Soerjono Soekanto (1986: 51) mengutip pendapat
Young dan Raymond dan Gillin dan Gillin menjelaskan, bahwa: “Interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara
orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia.”
Anak tunanetra memiliki ganguan fungsi penglihatan baik sebagian atau seluruhnya,
sehingga menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan dirinya, seperti: pada
perkembangan kognitif, perkembangan akademik, perkembangan orientasi dan mobilitas
serta perkembangan sosial dan emosi. Hal ini mengakibatkan anak tunanetra dalam
menjalankan perannya sebagai makhluk sosial seringkali mengalami hambatan-hambatan.
Ini dikarenakan anak tunanetra kurang mampu memiliki persyaratan-persyaratan
normatif yang dituntut dari lingkungannya, misal: kemampuan untuk menyesuaikan diri
dalam bergaul, cara menyatakan terimakasih, saling menghormati, kemampuan dalam
berekspresi, cara melambaikan tangan, dan lain-lain.
Adanya perubahan lingkungan baru bagi anak tunanetra memberikan benturan-benturan,
yang dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan. Anak tunanetra
harus dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian sosial dalam lingkungan sekolah. Bagi
anak tunanetra hal ini sangatlah sulit, karena anak harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru di sekolah, baik secara pasif maupun secara aktif.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku sosial dalam
berinteraksi dengan lingkungan, mereka harus mampu memanfaatkan alat indera lain.
Alat indera yang dapat dikembangkan seperti: pendengaran, perabaan, penciuman dan
pengecap. Hal ini sebagai upaya memperlancar interaksi sosial dengan lingkungannya,
walaupun hasilnya tidak sebaik dan selengkap jika dibarengi dengan adanya indera
penglihatan.
Selain itu, adanya kesiapan mental anak tunanetra untuk memasuki lingkungan baru
atau kelompok lain yang berbeda, akan sangat baik dalam pengembangan sosialnya.
Sebaliknya, ketidaksiapan mental anak untuk masuk ke dunia baru sering mengakibatkan
anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosialnya. Jika
kegagalan dianggap sebagai tantangan dan merupakan pengalaman yang terbaik, maka hal
ini akan menjadi modal utama untuk memasuki lingkungan baru berikutnya. Namun
apabila kegagalan tersebut merupakan ketidakmampuan, maka akan timbul rasa
frustasi/putus asa, menarik diri dari lingkungan.
Keterbatasan interaksi sosial pada anak tunanetra patuh dipahami oleh semua pihak,
terutama orang tua dan guru. Orang tua dan guru berkewajiban mengupayakan agar
interaksi sosial yang dimiliki anak tunanetra dapat ditingkatkan. Guru mempunyai
peranan penting dalam menghadapi anak tunanetra agar mampu berinteraksi dengan
lingkungan di sekolah, sebab guru sebagai orangtua di sekolah yang harus siap
melayani pendidikan anak tunanetra dengan segala bentuk kekurangannya, khususnya
dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah Luar
Biasa.
Faktor-faktor yang dapat menghambat interaksi anak tunanetra ketika berada di
sekolah yaitu:
1. Pengalaman buruk yang diterima sebelum berada di sekolah.
2. Mobilitas yang belum terlatih, sehingga memunculkan keraguan pada diri anak untuk
melakukan kontak sosial dan komunikasi.
3. Persepsi yang ditanamkan orang-orang terdekat terhadap kontak sosial.
4. Minat yang dimiliki anak tunanetra.
5. Peran individu lain di lingkungan sekitarnya terhadap kehadiran dirinya.
Interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa juga dipengaruhi oleh
perbedaan kepribadian dan kecakapan yang dimiliki anak. Dalam hal ini, guru memiliki
peran yang sangat besar untuk terlibat dalam interaksi sosial anak tunanetra di
sekolah. Peran yang dilakukan guru yaitu, mengadakan hubungan dengan guru-guru lain,
teman-teman seusia dan orang lain yang ada disekitar lingkungan sekolah. Pengalaman
dalam berinteraksi di lingkungan rumah yang dibimbing orang tua, juga sangat
menentukan kepribadian dan kecakapan anak tunanetra pada saat berada di sekolah.
Sekolah memiliki norma-norma dan aturan-aturan yang berbeda dengan norma-norma dan
aturan-aturan yang berlaku di rumah. Di sekolah anak tunanetra akan dihadapkan pada
berbagai aturan dan disiplin yang berlaku pada lingkungannya. Masa transisi dari
orientasi lingkungan keluarga ke sekolah tidaklah mudah. Hal ini sering menimbulkan
masalah pada anak tunanetra. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam menghadapi
lingkungan baru di sekolah atau kelompok lain yang berbeda, seringkali mengakibatkan
gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Apabila kegagalan tersebut dihadapi
pada suatu kenyataan dan tantangan, maka hal ini biasanya menjadi modal utama dalam
menghadapi lingkungan yang baru. Namun jika kegagalan dihadapi sebagai suatu
ketidakmampuan, maka sikap-sikap ketidakberdayaan yang akan muncul menumpuk menjadi
sebuah rasa putus asa yang mendalam dan akhirnya menghindari kontak sosial.
Pengalaman sosial yang dimiliki seseorang dapat menentukan daya yang memungkinkan
seseorang dapat menguasai lingkungan, penguasaan diri atau hubungan antara keduanya.
Adanya kehilangan fungsi penglihatan pada anak akan mengakibatkan terjadinya
keterpisahan sosial. Anak dengan ketunanetraan seringkali mengalami kesulitan untuk
menyelaraskan tindakannya pada situasi yang ada. Keterbatasan kemampuan yang
dimiliki membuat anak tunanetra merasa terisolasi dari orang-orang normal, atau
dapat menimbulkan perasaan minder, bimbang, ragu, tidak percaya diri, jika berada
dalam situasi yang tidak dikenalnya.
Situasi dan aktivitas di sekolah bagi anak tunanetra yang hanya beberapa jam dalam
sehari, sesungguhnya menggantikan posisi keluarga. Peran orang tua diganti oleh
bapak/ibu guru, peran saudara diganti oleh teman-teman, dan sebagainya. Sedangkan
kontak sosial dan komunikasi di sekolah terjadi di dalam dan di luar kelas.
Interaksi yang terjadi di dalam kelas berlangsung antara guru dengan siswa, dan
siswa dengan siswa. Supaya kontak dan komunikasi berjalan lancar, maka setiap warga
sekolah harus memahami dalam situasi mana interaksi itu berlaku. Pemahaman dari
seluruh warga sekolah dapat membantu anak tunanetra untuk bisa melakukan kontak
sosial seperti yang diharapkan.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan
program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu anak tunanetra agar
mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral,
spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui program bimbingan,
pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian khusus dalam hal
interaksi sosial di sekolah. Dalam hal ini, guru memiliki peran yang besar, agar
anak tunanetra memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan individu lain yang
berada di sekitar sekolah. Guru membimbing anak tunanetra secara bertahap,
disesuaikan dengan dasar pengalaman anak tunanetra ketika berada dalam lingkungan
rumahnya.
Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan
kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun
dari sisi interaksi orang per-orang.
2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal
yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan
kontak.
6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan
dilakukan dengan teman sebaya.
7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian
individu.
8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini
dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang
berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang
dewasa.
Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak
diturunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses belajar,
bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang positif dan negatif,
secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi anak tunanetra dalam
berinteraksi. Untuk menghindari terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak
tunanetra dalam bergaul perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat pada
diri anak tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra juga
dapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam berinteraksi dengan
lingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial.
sumber : http://www.plbjabar.com/old/?inc=artikel&id=44
Memasuki lingkungan baru selalu menjadi problema bagi semua orang. Apalagi bagi mereka yang mempunyai kebutuhan khusus yang diakibatkan oleh kelainan. Termasuk anak tunanetra. Baik bagi mereka yang baru masuk sekolah, maupun bagi mereka
yang sudah bersekolah. Persoalan berat akan sangat terasa bagi mereka yang baru
pertama kali memasuki dunia sekolah. Beragam kesan dan rasa muncul pada dirinya.
Umumnya lingkungan baru memberikan rasa tidak nyaman bagi anak tunanetra, kadang
dibarengi dengan ketakutan-ketakutan yang sangat berlebihan. Setiap langkah yang
ditapaki anak tunanetra menjadi masalah baginya. Teman yang menghampiri, menjadi
seseorang yang amat asing untuk dikenalnya. Ia akan menarik diri jika ada yang ingin
berkenalan dengannya. Sikap egois, cepat marah, mudah curiga, takut terhadap
lingkungan baru, dan sebagainya. Jelasnya, anak tunanetra kurang dapat melakukan
interaksi sosial yang memuaskan atau interaksi sosialnya mengalami keterbatasan.
Keadaan ini tentunya menimbulkan persoalan tidak saja bagi sang siswa, tetapi juga
bagi guru dan teman-teman di lingkungan sekitarnya.
Interaksi merupakan perhatian timbal balik antara dua orang atau lebih terhadap
suatu objek atau orang ke tiga. Perhatian timbal balik ini sering kali direspon
dengan isyarat, ujaran atau tindakan. Soerjono Soekanto (1986: 51) mengutip pendapat
Young dan Raymond dan Gillin dan Gillin menjelaskan, bahwa: “Interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara
orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia.”
Anak tunanetra memiliki ganguan fungsi penglihatan baik sebagian atau seluruhnya,
sehingga menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan dirinya, seperti: pada
perkembangan kognitif, perkembangan akademik, perkembangan orientasi dan mobilitas
serta perkembangan sosial dan emosi. Hal ini mengakibatkan anak tunanetra dalam
menjalankan perannya sebagai makhluk sosial seringkali mengalami hambatan-hambatan.
Ini dikarenakan anak tunanetra kurang mampu memiliki persyaratan-persyaratan
normatif yang dituntut dari lingkungannya, misal: kemampuan untuk menyesuaikan diri
dalam bergaul, cara menyatakan terimakasih, saling menghormati, kemampuan dalam
berekspresi, cara melambaikan tangan, dan lain-lain.
Adanya perubahan lingkungan baru bagi anak tunanetra memberikan benturan-benturan,
yang dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan. Anak tunanetra
harus dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian sosial dalam lingkungan sekolah. Bagi
anak tunanetra hal ini sangatlah sulit, karena anak harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru di sekolah, baik secara pasif maupun secara aktif.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku sosial dalam
berinteraksi dengan lingkungan, mereka harus mampu memanfaatkan alat indera lain.
Alat indera yang dapat dikembangkan seperti: pendengaran, perabaan, penciuman dan
pengecap. Hal ini sebagai upaya memperlancar interaksi sosial dengan lingkungannya,
walaupun hasilnya tidak sebaik dan selengkap jika dibarengi dengan adanya indera
penglihatan.
Selain itu, adanya kesiapan mental anak tunanetra untuk memasuki lingkungan baru
atau kelompok lain yang berbeda, akan sangat baik dalam pengembangan sosialnya.
Sebaliknya, ketidaksiapan mental anak untuk masuk ke dunia baru sering mengakibatkan
anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosialnya. Jika
kegagalan dianggap sebagai tantangan dan merupakan pengalaman yang terbaik, maka hal
ini akan menjadi modal utama untuk memasuki lingkungan baru berikutnya. Namun
apabila kegagalan tersebut merupakan ketidakmampuan, maka akan timbul rasa
frustasi/putus asa, menarik diri dari lingkungan.
Keterbatasan interaksi sosial pada anak tunanetra patuh dipahami oleh semua pihak,
terutama orang tua dan guru. Orang tua dan guru berkewajiban mengupayakan agar
interaksi sosial yang dimiliki anak tunanetra dapat ditingkatkan. Guru mempunyai
peranan penting dalam menghadapi anak tunanetra agar mampu berinteraksi dengan
lingkungan di sekolah, sebab guru sebagai orangtua di sekolah yang harus siap
melayani pendidikan anak tunanetra dengan segala bentuk kekurangannya, khususnya
dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah Luar
Biasa.
Faktor-faktor yang dapat menghambat interaksi anak tunanetra ketika berada di
sekolah yaitu:
1. Pengalaman buruk yang diterima sebelum berada di sekolah.
2. Mobilitas yang belum terlatih, sehingga memunculkan keraguan pada diri anak untuk
melakukan kontak sosial dan komunikasi.
3. Persepsi yang ditanamkan orang-orang terdekat terhadap kontak sosial.
4. Minat yang dimiliki anak tunanetra.
5. Peran individu lain di lingkungan sekitarnya terhadap kehadiran dirinya.
Interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa juga dipengaruhi oleh
perbedaan kepribadian dan kecakapan yang dimiliki anak. Dalam hal ini, guru memiliki
peran yang sangat besar untuk terlibat dalam interaksi sosial anak tunanetra di
sekolah. Peran yang dilakukan guru yaitu, mengadakan hubungan dengan guru-guru lain,
teman-teman seusia dan orang lain yang ada disekitar lingkungan sekolah. Pengalaman
dalam berinteraksi di lingkungan rumah yang dibimbing orang tua, juga sangat
menentukan kepribadian dan kecakapan anak tunanetra pada saat berada di sekolah.
Sekolah memiliki norma-norma dan aturan-aturan yang berbeda dengan norma-norma dan
aturan-aturan yang berlaku di rumah. Di sekolah anak tunanetra akan dihadapkan pada
berbagai aturan dan disiplin yang berlaku pada lingkungannya. Masa transisi dari
orientasi lingkungan keluarga ke sekolah tidaklah mudah. Hal ini sering menimbulkan
masalah pada anak tunanetra. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam menghadapi
lingkungan baru di sekolah atau kelompok lain yang berbeda, seringkali mengakibatkan
gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Apabila kegagalan tersebut dihadapi
pada suatu kenyataan dan tantangan, maka hal ini biasanya menjadi modal utama dalam
menghadapi lingkungan yang baru. Namun jika kegagalan dihadapi sebagai suatu
ketidakmampuan, maka sikap-sikap ketidakberdayaan yang akan muncul menumpuk menjadi
sebuah rasa putus asa yang mendalam dan akhirnya menghindari kontak sosial.
Pengalaman sosial yang dimiliki seseorang dapat menentukan daya yang memungkinkan
seseorang dapat menguasai lingkungan, penguasaan diri atau hubungan antara keduanya.
Adanya kehilangan fungsi penglihatan pada anak akan mengakibatkan terjadinya
keterpisahan sosial. Anak dengan ketunanetraan seringkali mengalami kesulitan untuk
menyelaraskan tindakannya pada situasi yang ada. Keterbatasan kemampuan yang
dimiliki membuat anak tunanetra merasa terisolasi dari orang-orang normal, atau
dapat menimbulkan perasaan minder, bimbang, ragu, tidak percaya diri, jika berada
dalam situasi yang tidak dikenalnya.
Situasi dan aktivitas di sekolah bagi anak tunanetra yang hanya beberapa jam dalam
sehari, sesungguhnya menggantikan posisi keluarga. Peran orang tua diganti oleh
bapak/ibu guru, peran saudara diganti oleh teman-teman, dan sebagainya. Sedangkan
kontak sosial dan komunikasi di sekolah terjadi di dalam dan di luar kelas.
Interaksi yang terjadi di dalam kelas berlangsung antara guru dengan siswa, dan
siswa dengan siswa. Supaya kontak dan komunikasi berjalan lancar, maka setiap warga
sekolah harus memahami dalam situasi mana interaksi itu berlaku. Pemahaman dari
seluruh warga sekolah dapat membantu anak tunanetra untuk bisa melakukan kontak
sosial seperti yang diharapkan.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan
program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu anak tunanetra agar
mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral,
spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui program bimbingan,
pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian khusus dalam hal
interaksi sosial di sekolah. Dalam hal ini, guru memiliki peran yang besar, agar
anak tunanetra memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan individu lain yang
berada di sekitar sekolah. Guru membimbing anak tunanetra secara bertahap,
disesuaikan dengan dasar pengalaman anak tunanetra ketika berada dalam lingkungan
rumahnya.
Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengan
kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:
1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun
dari sisi interaksi orang per-orang.
2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal
yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan
kontak.
6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan
dilakukan dengan teman sebaya.
7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian
individu.
8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini
dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang
berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang
dewasa.
Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak
diturunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses belajar,
bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang positif dan negatif,
secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi anak tunanetra dalam
berinteraksi. Untuk menghindari terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak
tunanetra dalam bergaul perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat pada
diri anak tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra juga
dapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam berinteraksi dengan
lingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial.
sumber : http://www.plbjabar.com/old/?inc=artikel&id=44
Komentar : Leave a Comment »
Kategori : Tuna Netra
PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN YANG TEPAT BAGI SISWA TUNANETRA
28 11 2009
Oleh : Ipan Hidayatulloh, S.pd
Tujuan pembelajaran merupakan sasaran utama yang harus dicapai setelah proses pembelajaran selesai. Metode dan pendekatan yang tepat untuk mengajar dan aktivitas siswa dalam belajar merupakan hal yang harus diperhatikan ketika merancang suatu rencana pembelajaran.
Dengan demikian pemilihan metode sangat penting agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Hal itu senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surakhmad (1986 :75), bahwa metode adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang akan dicapai John D. Latuheru (1988 : 14) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini anak didik atau warga belajar). Selanjutnya Suharsimi Arikunto (1987 : 16) mengemukakan bahwa media adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar untuk lebih mempertinggi efektifitas serta efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan seoptimal mungkin. Oleh karena itu, dari berbagai pendapat para ahli kita dapat menyimpulkan bahwa: Media pembelajaran merupakan alat bantu pembelajaran yang digunakan sesuai dengan tujuan dan isi materi pembelajaran sebagai usaha untuk mempermudah menyampaikan informasi dari sumber belajar kepada penerima informasi, dengan tujuan untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian maka seorang pendidik dalam melakukan proses belajar mengajar harus dapat memilih antara media yang cocok dengan materi yang akan diberikan kepada siswanya.
Penggunaan media pembelajaran yang tidak sesuai mengakibatkan materi tidak tersampaikan dengan sempurna. Pemilihan media pembelajaran juga harus memperhatikan kondisi siswa sebagai subjek pembelajaran. Pemilihan media belajar seyogyanya harus disesuaikan dengan kondisi siswanya. Siswa tunanetra berbeda kondisinya dengan tuna rungu, begitu pula dengan siswa normal, semuah siswa memiliki kekhususan dalam melakukan pembelajaran. Berikut ini kita akan lebih membahas bagaimana siswa tunanetra mengatasi keterbatasannya dalam belajar yang berkaitan dengan pembelajaran menggunakan media peta. Pengetahuan tentang sifat-sifat ruang dari benda yang biasa dilakukan lewat penglihatan, dapat dilakukan pula dengan rabaan. Di sini pengalaman kinestetis memegang peranan penting. Dengan rabaan anak tuna netra bisa tahu tentang bentuk benda, besar kecilnya, bahkan mempunyai kelebihan yaitu bisa mengerti halus kasarnya ( teksture) dan daya lenting ( elastisitas ) serta berat ringannya suatu benda. Tetapi meskipun ada kelebihannya, anak tuna netra memiliki kekurangan. Rabaan dibatasi oleh jarak jangkauan yang pendek, hanya sepanjang tangannya. Meskipun tidak tergantung kepada adanya cahaya, akibatnya benda-benda yang jauh tidak dapat dikenal, atau benda-benda yang terlalau besar sulit untuk dikenali. Demikian pula benda-benda yang tidak mungkin diraba tetap tidak dikenalnya dengan baik karena sifatnya. Misalnya, anak tuna netra tidak bisa menegenal bentuk api karena panasnya.
Penglihatan memiliki fungsi yang khas karena itu terpenting, yaitu sebagai indera penyatu dan pemadu. Dengan penglihatannya, orang dapat mengetahui sesuatu secara menyeluruh dan serentak. Berbagai sifat benda dapat dikenal secara rinci dan terpadu. Oleh karena itu, tidak adanya penglihatan telah dibuktikan banyak mempunyai berbagai macam akibat. Hal ini akan menempatkan anak tuna netra dalam kesulitan untuk memperoleh kecakapan atau kemampuan.
Persepsi warna adalah juga khas kemampuan penglihatan. Oleh karenanya, tidak mungkin dapat digantikan oleh indera lain utuk mengerti tentang warna. Dengan demikian, ia juga tidak mungkin memiliki konsep warna yang sebenarnya. Ia akan mengembangkan pengertiannya tentang warna secara verbal misalnya, emas dapat diketahui berwarna kuning karena ia pernah mendengar dari orang lain bahwa emas berwarna kuning. Akibat yang jelas dan mudah dilihat jika seseorang kehilangan fungsi penglihatan adalah ketika ia terpaksa melakukan kegiatan berpindah-pindah dan mencari sesuatu yang hilang.
Sebagai contoh, ketika media peta timbul digunakan siswa untuk mengenal konsep ruang yang dijelaskan dalam pelajaran sejarah, dimungkinkan siswa akan mengalami kesulitan memahami pelajaran sejarah tersebut melalui cerita. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya konsentrasi dan ketertarikan siswa tersebut. Pada saat siswa tunanetra meraba peta timbul dan menerima sensasi raba, siswa diharapkan akan lebih memahami pelajaran yang diberikan, karena mereka telah mengalami perabaan pada media tersebut. Pengalaman tersebut akan lebih mudah tersimpan dalam memori siswa tunanetra.
Sehingga dengan media peta timbul ini akan meningkatkan ketertarikan siswa pada pelajarannya. Lebih jauh lagi, dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Begitu pula dengan pelajaran lainnya, diharapkan guru bisa memilih media yang tepat untuk menyampaikan materi yang diajarkan. Kesesuaian media pembelajaran dan materi pelajaran diharapkan akan meningkatkan hasil belajar siswa, kesesuaian tersebut juga harus memperhatikan situasi dan kondisi siswa sebagai warga belajar.
Sumber : http://plbjabar.com/?inc=info_plb_jabar&kat=artikel&id=67
Tujuan pembelajaran merupakan sasaran utama yang harus dicapai setelah proses pembelajaran selesai. Metode dan pendekatan yang tepat untuk mengajar dan aktivitas siswa dalam belajar merupakan hal yang harus diperhatikan ketika merancang suatu rencana pembelajaran.
Dengan demikian pemilihan metode sangat penting agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Hal itu senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Surakhmad (1986 :75), bahwa metode adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang akan dicapai John D. Latuheru (1988 : 14) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini anak didik atau warga belajar). Selanjutnya Suharsimi Arikunto (1987 : 16) mengemukakan bahwa media adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara dalam proses belajar mengajar untuk lebih mempertinggi efektifitas serta efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan seoptimal mungkin. Oleh karena itu, dari berbagai pendapat para ahli kita dapat menyimpulkan bahwa: Media pembelajaran merupakan alat bantu pembelajaran yang digunakan sesuai dengan tujuan dan isi materi pembelajaran sebagai usaha untuk mempermudah menyampaikan informasi dari sumber belajar kepada penerima informasi, dengan tujuan untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian maka seorang pendidik dalam melakukan proses belajar mengajar harus dapat memilih antara media yang cocok dengan materi yang akan diberikan kepada siswanya.
Penggunaan media pembelajaran yang tidak sesuai mengakibatkan materi tidak tersampaikan dengan sempurna. Pemilihan media pembelajaran juga harus memperhatikan kondisi siswa sebagai subjek pembelajaran. Pemilihan media belajar seyogyanya harus disesuaikan dengan kondisi siswanya. Siswa tunanetra berbeda kondisinya dengan tuna rungu, begitu pula dengan siswa normal, semuah siswa memiliki kekhususan dalam melakukan pembelajaran. Berikut ini kita akan lebih membahas bagaimana siswa tunanetra mengatasi keterbatasannya dalam belajar yang berkaitan dengan pembelajaran menggunakan media peta. Pengetahuan tentang sifat-sifat ruang dari benda yang biasa dilakukan lewat penglihatan, dapat dilakukan pula dengan rabaan. Di sini pengalaman kinestetis memegang peranan penting. Dengan rabaan anak tuna netra bisa tahu tentang bentuk benda, besar kecilnya, bahkan mempunyai kelebihan yaitu bisa mengerti halus kasarnya ( teksture) dan daya lenting ( elastisitas ) serta berat ringannya suatu benda. Tetapi meskipun ada kelebihannya, anak tuna netra memiliki kekurangan. Rabaan dibatasi oleh jarak jangkauan yang pendek, hanya sepanjang tangannya. Meskipun tidak tergantung kepada adanya cahaya, akibatnya benda-benda yang jauh tidak dapat dikenal, atau benda-benda yang terlalau besar sulit untuk dikenali. Demikian pula benda-benda yang tidak mungkin diraba tetap tidak dikenalnya dengan baik karena sifatnya. Misalnya, anak tuna netra tidak bisa menegenal bentuk api karena panasnya.
Penglihatan memiliki fungsi yang khas karena itu terpenting, yaitu sebagai indera penyatu dan pemadu. Dengan penglihatannya, orang dapat mengetahui sesuatu secara menyeluruh dan serentak. Berbagai sifat benda dapat dikenal secara rinci dan terpadu. Oleh karena itu, tidak adanya penglihatan telah dibuktikan banyak mempunyai berbagai macam akibat. Hal ini akan menempatkan anak tuna netra dalam kesulitan untuk memperoleh kecakapan atau kemampuan.
Persepsi warna adalah juga khas kemampuan penglihatan. Oleh karenanya, tidak mungkin dapat digantikan oleh indera lain utuk mengerti tentang warna. Dengan demikian, ia juga tidak mungkin memiliki konsep warna yang sebenarnya. Ia akan mengembangkan pengertiannya tentang warna secara verbal misalnya, emas dapat diketahui berwarna kuning karena ia pernah mendengar dari orang lain bahwa emas berwarna kuning. Akibat yang jelas dan mudah dilihat jika seseorang kehilangan fungsi penglihatan adalah ketika ia terpaksa melakukan kegiatan berpindah-pindah dan mencari sesuatu yang hilang.
Sebagai contoh, ketika media peta timbul digunakan siswa untuk mengenal konsep ruang yang dijelaskan dalam pelajaran sejarah, dimungkinkan siswa akan mengalami kesulitan memahami pelajaran sejarah tersebut melalui cerita. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya konsentrasi dan ketertarikan siswa tersebut. Pada saat siswa tunanetra meraba peta timbul dan menerima sensasi raba, siswa diharapkan akan lebih memahami pelajaran yang diberikan, karena mereka telah mengalami perabaan pada media tersebut. Pengalaman tersebut akan lebih mudah tersimpan dalam memori siswa tunanetra.
Sehingga dengan media peta timbul ini akan meningkatkan ketertarikan siswa pada pelajarannya. Lebih jauh lagi, dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Begitu pula dengan pelajaran lainnya, diharapkan guru bisa memilih media yang tepat untuk menyampaikan materi yang diajarkan. Kesesuaian media pembelajaran dan materi pelajaran diharapkan akan meningkatkan hasil belajar siswa, kesesuaian tersebut juga harus memperhatikan situasi dan kondisi siswa sebagai warga belajar.
Sumber : http://plbjabar.com/?inc=info_plb_jabar&kat=artikel&id=67
Komentar : Leave a Comment »
Kategori : Tuna Netra
Strategi pembelajaran anak tuna netra
28 11 2009
Oleh : VANtheyologist
19 Oktober 2009
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2. Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1) Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
2) Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
Pola Pembelajaran
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama sekali.
Sumber : http://vantheyologi.wordpress.com/2009/10/19/anak-tuna-netra/
19 Oktober 2009
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1. Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2. Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra pada hakekatnya adalah strategi pembelajaran umum yang diterapkan dalam kerangka dua pemikiran di atas. Pertama-tama guru harus menguasai karakteristik/strategi pembelajaran yang umum pada anak-anak awas, meliputi tujuan, materi, alat, cara, lingkungan, dan aspek-aspek lainnya. Langkah berikutnya adalah menganalisis komponen-komponen mana saja yang perlu atau tidak perlu dirubah/dimodifikasi dan bagaimana serta sejauh mana modifikasi itu dilakukan jika perlu. Pada tahap berikutnya, pemanfaatan indera yang masih berfungsi secara optimal dan terpadu dalam praktek/proses pembelajaran memegang peran yag sangat penting dalam menentukan keberhasilan belajar.
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1) Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education Program – IEP).
2) Prinsip kekonkritan/pengalaman penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitu penggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip aktivitas mandiri (selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
Pola Pembelajaran
Permasalahan pembelajaran dalam pendidikan tunanetra adalah masalah penyesuaian. Penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran pada anak tunanetra lebih banyak berorientasi pada pendidikan umum, terutama menyangkut tujuan dan muatan kurikulum. Dalam strategi pembelajaran, tugas guru adalah mencermati setiap bagian dari kurikulum, mana yang bisa disampaikan secara utuh tanpa harus mengalami perubahan, mana yang harus dimodifikasi, dan mana yang harus dihilangkan sama sekali.
Sumber : http://vantheyologi.wordpress.com/2009/10/19/anak-tuna-netra/
Komentar : Leave a Comment »
Kategori : Tuna Netra
Anak Tunanetra
28 11 2009
Oleh : Yanti D.P.
05 Februari 2009, 3:08 pm
Definisi :
Tunanetra adalah gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan pendidikan khusus
Ciri-ciri :
1. Tidak mampu melihat
2. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
3. Kerusakan nyata pada kedua bola mata
4. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan
5. Mengalami kesulitan saat mengambil benda kecil disekitarnya
6. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/bersisik/kering
7. Peradangan hebat pada kedua bola mata
8. Mata bergoyang terus
Nilai standar: 4 (Artinya 4 dari 8 ciri pada anak, mereka dikategorikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan khusus
Kelompok yang Mengalami Keterbatasan Penglihatan :
• Mengenal bentuk atau obyek dari berbagai jarak
• Menghitung jari dari berbagai jarak
• Tidak mengenal tangan yang digerakkan
Kelompok yang Mengalami Keterbatasan Penglihatan yang Berat (Buta) :
• Yang tergolong mempunyai persepsi cahaya (light perception)
• Yang tergolong tidak memiliki persepsi cahaya (no light perception)
Layanan Pendidikan Tunanetra Dikelompokkan Menjadi:
• Mereka mampu membaca cetakan standart
• Mampu membaca cetakan standart dengan menggunakan kaca pembesar
• Mampu membaca cetakan besar (ukuran huruf:18)
• Mampu membaca cetakan kombinasi cetakan reguler dan catakan besar
• Membaca cetakan besar dengan kaca pembesar
• Menggunakan Braille tetapi masih bisa melihat cahaya (sangat berguna untuk mobilitas)
• Menggunakan Braille tetapi tidak punya persepsi cahaya
Keterbatasan Anak Tunanetra :
• Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru
• Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan
• Keterbatasan dalam mobilitas
Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunanetra :
Karena keterbatasan anak tunanetra, maka pembelajarannya harus mengacu kepada prinsip-prinsip:
a. Kebutuhan akan pengalaman konkret
b. Kebutuhan akan pengalaman memadukan
c. Kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar
Media Belajar Anak Tunanetra dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
• Kelompok buta dengan media pembelajarannya adalah tulisan Braille
• Kelompok Low Vission dengan medianya adalah tulisan awas yang dimodifikasi (huruf diperbesar, penggunaan alat pembesar tulisan)
Keterampilan Kompensatoris bagi anak Tunanetra :
• Keterampilan membaca dan menulis huruf Braille
• Keterampilan melakukan mobilitas: Perlu latihan Orientasi dan Mobilitas (kemampuan menemukenali lokasi, dan kemampuan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tepat dan aman)
Sumber : http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/anak-tunanetra/
05 Februari 2009, 3:08 pm
Definisi :
Tunanetra adalah gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan pendidikan khusus
Ciri-ciri :
1. Tidak mampu melihat
2. Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
3. Kerusakan nyata pada kedua bola mata
4. Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan
5. Mengalami kesulitan saat mengambil benda kecil disekitarnya
6. Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/bersisik/kering
7. Peradangan hebat pada kedua bola mata
8. Mata bergoyang terus
Nilai standar: 4 (Artinya 4 dari 8 ciri pada anak, mereka dikategorikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan khusus
Kelompok yang Mengalami Keterbatasan Penglihatan :
• Mengenal bentuk atau obyek dari berbagai jarak
• Menghitung jari dari berbagai jarak
• Tidak mengenal tangan yang digerakkan
Kelompok yang Mengalami Keterbatasan Penglihatan yang Berat (Buta) :
• Yang tergolong mempunyai persepsi cahaya (light perception)
• Yang tergolong tidak memiliki persepsi cahaya (no light perception)
Layanan Pendidikan Tunanetra Dikelompokkan Menjadi:
• Mereka mampu membaca cetakan standart
• Mampu membaca cetakan standart dengan menggunakan kaca pembesar
• Mampu membaca cetakan besar (ukuran huruf:18)
• Mampu membaca cetakan kombinasi cetakan reguler dan catakan besar
• Membaca cetakan besar dengan kaca pembesar
• Menggunakan Braille tetapi masih bisa melihat cahaya (sangat berguna untuk mobilitas)
• Menggunakan Braille tetapi tidak punya persepsi cahaya
Keterbatasan Anak Tunanetra :
• Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru
• Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan
• Keterbatasan dalam mobilitas
Kebutuhan Pembelajaran Anak Tunanetra :
Karena keterbatasan anak tunanetra, maka pembelajarannya harus mengacu kepada prinsip-prinsip:
a. Kebutuhan akan pengalaman konkret
b. Kebutuhan akan pengalaman memadukan
c. Kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar
Media Belajar Anak Tunanetra dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
• Kelompok buta dengan media pembelajarannya adalah tulisan Braille
• Kelompok Low Vission dengan medianya adalah tulisan awas yang dimodifikasi (huruf diperbesar, penggunaan alat pembesar tulisan)
Keterampilan Kompensatoris bagi anak Tunanetra :
• Keterampilan membaca dan menulis huruf Braille
• Keterampilan melakukan mobilitas: Perlu latihan Orientasi dan Mobilitas (kemampuan menemukenali lokasi, dan kemampuan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan tepat dan aman)
Sumber : http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/anak-tunanetra/
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Tuna Netra
Ajak Anak Tunanetra Mandiri Sejak Dini
28 11 2009
Oleh : Apriani Landa
Rabu, 14 Oktober 2009 | 02:04 WITA
MEMILIKI kekurangan tidak menghalangi anak-anak usia dini untuk mengembangkan diri. Apalagi sekarang telah hadir Pusat Layanan Dini (Early Intervention Center) untuk anak Tunanetra dan Anak dengan Gangguan Penglihatan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina.
Pusat layanan yang diprakarsai oleh Helen Keller International (HKI)/Indonesia dan didukung oleh United States Agency for International Development (USAID) ini diresmikan Gubernur Sulsel melalui Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, dr Rachmat Latief, Selasa (13/10).
Melalui pusat layanan dini ini, anak-anak yang menderita tuna netra atau gangguan penglihatan bisa mengembangkan diri lebih terarah karena tenaga didik yang ahli telah mendapat pelatihan dari Helen Keller International (HKI).
Untuk tahun ajaran 2009 ini, ada tujuh anak yang mendapat pembinaan yang terarah. Layaknya sekolah taman kanak-kanak (TK) umum, di tempat ini, anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan ini juga mendapatkan penanganan dini.
Mereka diberikan latihan dasar tentang aktivitas sehari-hari, seperti latihan dasar seperti memakai sepatu, mengancing baju, bahkan membuat teh. Ini semua dilakukan tentu dengan kesabaran yang luar biasa dari pendidik, karena semuanya harus ditangani dengan khusus dan maksimal. “Pada usia ini, mereka belum menemukan jati diri, apalagi dalam kondisi mereka yang kurang tersebut. Di sini, mereka dikenalkan pada diri sendiri dan akhirnya siap masuk pada pembelajaran,” ujar Kepala SLB Pembina, Fatmawati Azis MPd. Fatmawati melanjutkan, dari pengenalan aktivitas sehari-hari, kemudian dilanjutkan pada perhatian orientasi mobilitas, pengenalan huruf braille, sampai anak itu nanti terarah.
Melalui pelayanan dini ini, terlebih dahulu diketahui apa kebutuhan anak. Karena setiap anak memiliki kebutuhan tersendiri, tergantung dengan kondisinya. Ada yang buta total, low vision (penglihatan kabur/samar) yang bisa ditolong dengan kacamata, dan ada juga yang memiliki kecacatan ganda. Seperti tunanetra sekaligus tunarungu atau grahita, atau lainnya.
“Selain mengikuti pembelajaran, anak-anak di sini juga menjalani terapi dan layanan kesehatan, untuk memantau perkembangan mereka,” ujar Fatmawati. Ini mengajarkan anak-anak lebih mandiri dan tetap merasa percaya meski dalam keterbatasan tersebut. Jika sudah masuk, akan dipindahkan ke jenjang SD, baik di SLB maupun ke SD umum. Mereka juga mendapat pelatihan kekhususan, misalnya mayoritas dilatih dengan tongkat, bagaimana jika berada di lingkungan umum, bagaimana saat akan menyebrang jalan, atau akan naik angkot.
Target Lanjut ke SD
KEHADIRAN Pusat Layanan Dini untuk anak tunanetra dan anak dengan gangguan penglihatan diharapkan bisa meningkatkan mutu dan kesempatan pendidikan kepada anak, meski dalam keterbatasan.
National Program Manager OVC HKI, Emilia Kristiyanti, mengatakan target dalam setahun, ada anak yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SD, baik di SLB maupun ke sekolah umum. Karena dengan penanganan yang maksimal dan secara khusus dari guru yang telah mendapat pelatihan dari HKI, maka anak-anak bisa tumbuh dan siap untuk berbaur dengan anak-anak normal di sekolah umum sekalipun. Kehadiran HKI ini meningkatkan pelayanan pendidikan kepada anak-anak yang mendapat perlakuan khusus.
Menurut Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, Andi Patawari, HKI hadir di Sulsel sejak tahun 2007 dan telah melahirkan tenaga pendidik dengan kemampuan dan keahlian hebat dalam melayani anak-anak berkebutuhan khusus.
Sumber : http://www.tribun-timur.com/read/artikel/52811
Rabu, 14 Oktober 2009 | 02:04 WITA
MEMILIKI kekurangan tidak menghalangi anak-anak usia dini untuk mengembangkan diri. Apalagi sekarang telah hadir Pusat Layanan Dini (Early Intervention Center) untuk anak Tunanetra dan Anak dengan Gangguan Penglihatan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina.
Pusat layanan yang diprakarsai oleh Helen Keller International (HKI)/Indonesia dan didukung oleh United States Agency for International Development (USAID) ini diresmikan Gubernur Sulsel melalui Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, dr Rachmat Latief, Selasa (13/10).
Melalui pusat layanan dini ini, anak-anak yang menderita tuna netra atau gangguan penglihatan bisa mengembangkan diri lebih terarah karena tenaga didik yang ahli telah mendapat pelatihan dari Helen Keller International (HKI).
Untuk tahun ajaran 2009 ini, ada tujuh anak yang mendapat pembinaan yang terarah. Layaknya sekolah taman kanak-kanak (TK) umum, di tempat ini, anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan ini juga mendapatkan penanganan dini.
Mereka diberikan latihan dasar tentang aktivitas sehari-hari, seperti latihan dasar seperti memakai sepatu, mengancing baju, bahkan membuat teh. Ini semua dilakukan tentu dengan kesabaran yang luar biasa dari pendidik, karena semuanya harus ditangani dengan khusus dan maksimal. “Pada usia ini, mereka belum menemukan jati diri, apalagi dalam kondisi mereka yang kurang tersebut. Di sini, mereka dikenalkan pada diri sendiri dan akhirnya siap masuk pada pembelajaran,” ujar Kepala SLB Pembina, Fatmawati Azis MPd. Fatmawati melanjutkan, dari pengenalan aktivitas sehari-hari, kemudian dilanjutkan pada perhatian orientasi mobilitas, pengenalan huruf braille, sampai anak itu nanti terarah.
Melalui pelayanan dini ini, terlebih dahulu diketahui apa kebutuhan anak. Karena setiap anak memiliki kebutuhan tersendiri, tergantung dengan kondisinya. Ada yang buta total, low vision (penglihatan kabur/samar) yang bisa ditolong dengan kacamata, dan ada juga yang memiliki kecacatan ganda. Seperti tunanetra sekaligus tunarungu atau grahita, atau lainnya.
“Selain mengikuti pembelajaran, anak-anak di sini juga menjalani terapi dan layanan kesehatan, untuk memantau perkembangan mereka,” ujar Fatmawati. Ini mengajarkan anak-anak lebih mandiri dan tetap merasa percaya meski dalam keterbatasan tersebut. Jika sudah masuk, akan dipindahkan ke jenjang SD, baik di SLB maupun ke SD umum. Mereka juga mendapat pelatihan kekhususan, misalnya mayoritas dilatih dengan tongkat, bagaimana jika berada di lingkungan umum, bagaimana saat akan menyebrang jalan, atau akan naik angkot.
Target Lanjut ke SD
KEHADIRAN Pusat Layanan Dini untuk anak tunanetra dan anak dengan gangguan penglihatan diharapkan bisa meningkatkan mutu dan kesempatan pendidikan kepada anak, meski dalam keterbatasan.
National Program Manager OVC HKI, Emilia Kristiyanti, mengatakan target dalam setahun, ada anak yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SD, baik di SLB maupun ke sekolah umum. Karena dengan penanganan yang maksimal dan secara khusus dari guru yang telah mendapat pelatihan dari HKI, maka anak-anak bisa tumbuh dan siap untuk berbaur dengan anak-anak normal di sekolah umum sekalipun. Kehadiran HKI ini meningkatkan pelayanan pendidikan kepada anak-anak yang mendapat perlakuan khusus.
Menurut Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, Andi Patawari, HKI hadir di Sulsel sejak tahun 2007 dan telah melahirkan tenaga pendidik dengan kemampuan dan keahlian hebat dalam melayani anak-anak berkebutuhan khusus.
Sumber : http://www.tribun-timur.com/read/artikel/52811
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Tuna Netra
Belajar Menulis Untuk Tunanetra
28 11 2009
Oleh : Team Andriewongso.com
Kamis, 17-April-2008; 08:37:16 WIB
Untuk belajar membaca dan menulis, umumnya anak-anak penyandang tunanetra menggunakan huruf braille. Namun, bagi kebanyakan orang, pastilah sulit untuk memahami tulisan mereka tanpa memiliki pengetahuan dasar soal Braille. Hal inilah yang mendasari beberapa ilmuwan untuk mengembangkan teknologi menulis bagi kaum tunanetra.
Seperti upaya yang dilakukan oleh Doktor Beryl Plimmer dari Auckland University yang dibantu oleh mahasiswanya Rachel Blagojevic. Mereka mencoba mengembangkan sebuah robot dan komputer khusus yang dapat membantu anak-anak penyandang tunanetra belajar menulis layaknya orang biasa.
Teknologi ini nantinya diharapkan dapat memberi pelajaran bagi anak-anak tunanetra untuk mempelajari bentuk huruf dan menggerakkan pena serta dapat membuat tanda tangan seperti orang pada umumnya. Saat ini, biasanya kaum tunanetra membuat tanda tangan dengan menggunakan stensil atau membubuhkan tanda X.
Teknologi yang dikembangkan Plimmer dan Blagojevic ini menggunakan metode seperti alat bedah virtual. Cara kerjanya yaitu memadukan komputer layar sentuh dengan sebuah lengan robot. Penggunaannya teknologi ini cukup mudah. Seorang instruktur akan menuliskan huruf di komputer layar sentuh, kemudian gerakan menulis dari instruktur tersebut akan ditiru oleh lengan otot robot yang menggenggam pena. Pada saat yang sama, sang anak yang belajar menulis juga memegang pena dan mempelajari gerak pena tersebut. Sementara tangan satunya meraba papan khusus yang memunculkan tekstur tulisan tersebut.
Dengan inovasi tersebut, diharapkan anak-anak tunanetra dapat mempelajari bentuk huruf yang ditulis oleh orang pada umumnya. Mereka pun dapat membubuhkan tanda tangan dengan layak pada dokumen-dokumen penting. Sayang, kapan teknologi tersebut akan diluncurkan ke pasaran belum diketahui.
Kamis, 17-April-2008; 08:37:16 WIB
Untuk belajar membaca dan menulis, umumnya anak-anak penyandang tunanetra menggunakan huruf braille. Namun, bagi kebanyakan orang, pastilah sulit untuk memahami tulisan mereka tanpa memiliki pengetahuan dasar soal Braille. Hal inilah yang mendasari beberapa ilmuwan untuk mengembangkan teknologi menulis bagi kaum tunanetra.
Seperti upaya yang dilakukan oleh Doktor Beryl Plimmer dari Auckland University yang dibantu oleh mahasiswanya Rachel Blagojevic. Mereka mencoba mengembangkan sebuah robot dan komputer khusus yang dapat membantu anak-anak penyandang tunanetra belajar menulis layaknya orang biasa.
Teknologi ini nantinya diharapkan dapat memberi pelajaran bagi anak-anak tunanetra untuk mempelajari bentuk huruf dan menggerakkan pena serta dapat membuat tanda tangan seperti orang pada umumnya. Saat ini, biasanya kaum tunanetra membuat tanda tangan dengan menggunakan stensil atau membubuhkan tanda X.
Teknologi yang dikembangkan Plimmer dan Blagojevic ini menggunakan metode seperti alat bedah virtual. Cara kerjanya yaitu memadukan komputer layar sentuh dengan sebuah lengan robot. Penggunaannya teknologi ini cukup mudah. Seorang instruktur akan menuliskan huruf di komputer layar sentuh, kemudian gerakan menulis dari instruktur tersebut akan ditiru oleh lengan otot robot yang menggenggam pena. Pada saat yang sama, sang anak yang belajar menulis juga memegang pena dan mempelajari gerak pena tersebut. Sementara tangan satunya meraba papan khusus yang memunculkan tekstur tulisan tersebut.
Dengan inovasi tersebut, diharapkan anak-anak tunanetra dapat mempelajari bentuk huruf yang ditulis oleh orang pada umumnya. Mereka pun dapat membubuhkan tanda tangan dengan layak pada dokumen-dokumen penting. Sayang, kapan teknologi tersebut akan diluncurkan ke pasaran belum diketahui.
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Tuna Netra
10 Model Terapi Anak Autis
28 11 2009
Oleh : Wahyu Putra
Akhir2 ini bermunculan berbagai cara / obat/ suplemen yang ditawarkan dengan iming2 bisa menyembuhkan autisme. Kadang2 secara gencar dipromosikan oleh si penjual, ada pula cara2 mengiklankan diri di televisi/radio/tulisan2.
Para orang tua harus hati-hati dan jangan sembarangan membiarkan anaknya sebagai kelinci percobaan. Sayangnya masih banyak yang terkecoh , dan setelah mengeluarkan banyak uang menjadi kecewa oleh karena hasil yang diharapkan tidak tercapai.
Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar2 diakui oleh para professional dan memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.
1) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya . Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.
2) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang , namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot2 halusnya dengan benar.
4) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang2 tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot2nya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi .
Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.
6) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7) Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya,
8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
9) Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode …………. Dan PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.
10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).
Sumber : http://www.prsekolah.co.cc/2009/02/10-model-terapi-anak-autis.html
Akhir2 ini bermunculan berbagai cara / obat/ suplemen yang ditawarkan dengan iming2 bisa menyembuhkan autisme. Kadang2 secara gencar dipromosikan oleh si penjual, ada pula cara2 mengiklankan diri di televisi/radio/tulisan2.
Para orang tua harus hati-hati dan jangan sembarangan membiarkan anaknya sebagai kelinci percobaan. Sayangnya masih banyak yang terkecoh , dan setelah mengeluarkan banyak uang menjadi kecewa oleh karena hasil yang diharapkan tidak tercapai.
Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar2 diakui oleh para professional dan memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.
1) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya . Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.
2) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang , namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot2 halusnya dengan benar.
4) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang2 tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot2nya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi .
Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.
6) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7) Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya,
8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
9) Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode …………. Dan PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.
10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).
Sumber : http://www.prsekolah.co.cc/2009/02/10-model-terapi-anak-autis.html
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Autis
Lima Cara Sederhana Mengembangkan Kemampuan Verbal Anak Autis
28 11 2009
Oleh: Johanna Ririmasse
Terlepas dari apakah seorang anak itu autis atau bukan, kasus terlambat bicara merupakan kasus yang dialami oleh anak bermasalah, seperti anak autis. Dalam sebuah seminar mengenai Penanganan Anak Bermasalah Khususnya dalam Segi Emosi dan Autism, Julianti Gunawan, menuliskan,”Ciri-ciri gejala autisme nampak dari gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Selanjutnya, terapis anak autis yang juga bekerja di Biro Konsultasi Psikologi sebuah yayasan pendidikan di Jakarta, merincikan,”gangguan komunikasi pada anak autis ditandai dengan tidak adanya kontak mata, terlambat berbicara atau sama sekali belum dapat bicara, sulit untuk memulai percakapan dengan orang lain, mengulang kata-kata atau membeo, berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti atau bahasa planet, serta tidak memahami pembicaraan orang lain” Jadi, salah satu ciri gangguan komunikasi yang muncul pada anak autis adalah terlambat bicara atau sama sekali belum dapat bicara.
Terlambat bicara berhubungan dengan kemampuan anak menyampaikan kebutuhannya dengan suatu cara yang dapat dimengerti dengan benar atau perilaku komunikatif. Dalam sebuah makalah seminar bahasa juga dituliskan, perkembangan perilaku komunikatif dibagi dalam tiga kelompok; Pertama, Tahap Perlokusioner, dimana pesan diterima oleh pendengar tanpa ada usaha dari anak sehingga tidak terjadi komunikasi antara kedua belah pihak. Umumnya muncul sebelum umur 10 bulan. Kedua, Tahap Ilokusioner, ditandai dengan munculnya perilaku bahasa non verbal yang dapat dimengerti oleh pendengar, misalnya anak hanya menunjuk pada benda yang diinginkan. Ketiga, Perilaku Lokusioner, adalah fungsi bahasa yang dijadikan kedalam bentuk bahasa verbal. Sehingga pada tahap Perilaku Lokusioner sudah mulai timbul usaha dari anak untuk menyampaikan kebutuhannnya dalam bentuk bahasa verbal.
Kemampuan anak memasuki tahap Perilaku Lokusioner, merupakan langkah awal untuk mengembangkan kemampuan verbal atau mengembangkan kemampuan anak berbicara anak. Dibawah ini ada lima cara sederhana yang dapat dilakukan orang tua atau terapis untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, antara lain:
Permainan Tiba-Tiba
Permainan tiba-tiba merupakan permainan tidak terencana tapi mengasyikan, karena mengajari anak bicara dari apa yang menarik perhatiannya saat itu. Misalnya, anak tertarik pada kaleng bekas yang kebetulan tergeletak di lantai. Lantas anak mengambil, membuka dan menutup kaleng tersebut. Kesempatan ini dapat digunakan oleh orang tua atau terapis untuk mengajari konsep “buka” dan “tutup”. Caranya, orang tua atau terapis menutup kaleng sambil mengatakan,”tutup”. Lantas penutup kaleng tersebut diberikan kepada anak. Kemudian minta anak untuk mengikuti apa yang dilakukan sebelumnya. Atau, bisa juga menggunakan kaleng lain, agar orang tua atau terapis dan anak melakukan permainan ini secara bersamaan. Cara yang sama dilakukan juga untuk mengajari konsep,”buka.” Bila anak bosan kita juga dapat ganti mengajari konsep lain, seperti “pelan” dan “berisik”. Caranya, memukul kaleng perlahan dengan sendok, sambil berkata dengan nada suara pelan,”pelan!”. Kemudian memukul kaleng sekencangnya sambil berteriak,”berisik!”. Permainan dilakukan berulang dan dikembangkan dalam suasana yang menyenangkan. Anak akan lebih menikmati permainan bila kemudian orang tua atau terapis yang meniru tingkah anak dalam bermain.
Permainan tiba-tiba ini dapat dilakukan juga pada saat anak tertarik pada gambar kesukaannya, misalnya gambar gajah. Orang tua atau terapis bisa mengikuti tingkah anak menunjuk sambil menyebutkan nama “gajah” pada gambar yang ditunjuk. Bila anak tertawa dan senang tingkahnya diikuti oleh orang tua atau terapis secara berulang-ulang, hal ini akan memancing anak untuk meniru orang tua atau terapis tanpa disadarinya. Maka kesempatan ini dapat juga digunakan untuk mengajari anak menyebutkan nama binatang yang ada digambar selain gajah, seperti sapi, domba, kucing dan sebagainya. Selanjutnya, bisa juga dikembangkan menjadi dua kata, seperti “gajah abu-abu”, “gajah India”, atau…”susu sapi”, domba putih”, dan seterusnya.
Lomba Menamai Benda
Permainan berikutnya adalah lomba menamai benda. Untuk mempraktekan cara ini, orang tua atau terapis membutuhkan gambar-gambar yang sudah dikenal dan akan dinamai. Misalkan, gambar topi, burung, sepatu, apel, gajah, dan sebagainya yang dapat dipotong dari majalah bekas. Tempelkan gambar pada karton berukur post card (gambar 2.1) agar kelihatan menarik, lalu tempelkan pada dinding kamar terapi atau ruang keluarga. Kemudian membuat lomba dengan instruksi yang sederhana pada anak. Misalkan, “lari, pegang gambar topi, lalu sebutkan “topi”. Setelah instruksi diberikan, orang tua atau terapis lari bersama anak untuk memegang gambar topi sambil berteriak,”topi”. Permainan ini dapat juga dikembangkan dengan menyebutkan dua kata, seperti, topi merah, topi baru, topi sekolah (bila memang itu gambar topi sekolah), dan sebagainya.
Permainan lomba menamai benda akan lebih menyenangkan bila mengajak saudara, teman, atau anak tetangga yang sebaya dengan anak. Tapi, sebaiknya permainan cukup melibatkan anak dengan dua pemain lainnya, agar anak lebih mudah meniru, dan tetap dapat mengikuti permainan dengan baik. Supaya permainan lomba menamai benda ini lebih menantang, maka gambar-gambar yang akan dinamai di tempelkan agak tinggi, agar anak harus melompat saat menyentuh gambar yang akan dinamai tersebut.
Lagu atau Nyanyian
Lagu adalah cara menyenangkan untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, karena umumnya anak-anak suka sekali bernyanyi. Melalui bernyanyi anak dapat belajar mengucapkan lirik lagu tersebut satu persatu.
Mengajari anak menyanyi dapat dimulai dari lagu pendek dan sederhana, yang tentunya sangat disukai oleh anak, misalkan “Topi Saya Bundar”, “Kepala Pundak Lutut Kaki”, “Balonku Ada Lima”, atau “Aku Punya Anjing Kecil”. Selain itu, lagu juga dapat memperkaya imajinasi anak, dimana lirik lagu tersebut diubah sesuai dengan karakter lagu. Misalkan, lagu Aku Punya Anjing Kecil dapat diganti liriknya menjadi
Aku Punya Kucing Kecil.
Aku punya kucing kecil
Kuberi nama Kitty
Dia pandai menari-nari
Sambil bernyanyi riang
Kitty, meong-meong
Kemari, meong-meong
Ayo nari-nari
Kitty, meong-meong
Kemari, meong-meong
Ayo nari-nari…
Disamping itu, anak akan merasa senang bila lagu tersebut dinyanyikan memakai gerakan yang sesuai dengan lirik lagu. Dan akan lebih menarik lagi bila nama anaknya disebutkan dalam lirik lagu tersebut.
Menonton Televisi
Sebenarnya, nonton televisi dapat dijadikan sarana untuk mengajar anak berbicara dan komunikasi, asalkan orang tua atau terapis mau menyediakan waktu untuk nonton bersama. Hal pertama yang perlu dilakukan sebelum mengajari anak berbicara melalui nonton tivi, adalah mengetahui film apa yang menjadi kesukaan anak, seperti film Teletubbies, Donal Bebek, dan sebagainya. Kedua, mengetahui sejauh mana kemapuan anak dalam mengenal konsep, seperti warna, bentuk, jumlah, benda, dan sebagainya. Hal ini akan membantu saat meminta anak menceritakan apa yang ditonton pada orang tua atau terapis. Misalkan,”siapa sih yang naik skuter?”; “baju Lala warnanya apa sih?” dan sebagainya. Sebaiknya, jangan minta anak menceritakan sesuatu di dalam film yang tidak diketahuinya, seperti menyebutkan warna baju yang dipakai Lala sementara anak belum tahu tentang warna. Tetapi, sebaiknya diberitahu dulu apa yang sedang ditonton pada anak saat itu, lalu ditanyakan kembali pada kesempatan yang berbeda.
Permainan Berpura-pura
Permainan berpura-pura atau Pretend Play merupakan salah satu cara lain untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, melalui skenario pendek yang dibuat dari permainan yang dipilih, contohnya “Pura-pura jadi dokter”. Orang tua atau terapis dapat membuat skenario pendek antara seorang dokter dengan pasiennya. Dimana orang tua atau terapis menjadi dokter dan anak menjadi pasien. Contoh sederhana dari skenario permainan “pura-pura jadi dokter”.
Suasana: Dokter sedang duduk diruang kerjanya dengan alat dokternya yang ditaruh di atas meja. Disamping meja tergelatak sebuah tikar untuk digunakan pasien berbaring. Tiba-tiba terdegar ketukan di pintu.
Pasien: “Selamat pagi, dokter!”
Dokter: “Selamat pagi. Silakan duduk.”
Pasien : (Duduk di hadapan dokter) “Dokter, perut saya saki nih…”
Dokter : “Coba saya periksa dulu perut kamu” (dokter membimbing pasien tidur di atas tikar yang disiapkan. Kemudian memeriksa suhu tubuh dan perut pasien yang sakit. Setelah diperiksa, dokter mengajak pasiennya duduk kembali.)
Dokter : “Wah, Ibu terkena diare nih. Saya akan memberikan obat untuk diminum.”
Pasien : “Terima kasih, dokter.”
Untuk membantu anak dalam bermain, dibutuhkan satu orang terapis untuk menjadi model bicara pada awalnya. Atau, sebelum permainan dilakukan, ajari anak menghapal dialog yang diminta. Bila anak sudah mengikuti permainan dengan baik, maka skenario dapat dikembangkan lebih panjang lagi. Disamping itu, anak juga dapat bertukar peran dalam kesempatan yang berbeda, dimana anak yang menjadi dokter dan terapis atau orang tua yang menjadi pasien.
Skenario lain untuk permainan berpura-pura adalah, pura-pura berkunjung ke rumah Oma, belanja di supermaket, merayakan ulang tahun bersama, dan sebagainya. Supaya suasana lebih menyenangkan dapat libatkan teman, saudara atau anggota keluarga lainnya.
Sumber: http://puterakembara.org/archives3/00000015.shtml
Terlepas dari apakah seorang anak itu autis atau bukan, kasus terlambat bicara merupakan kasus yang dialami oleh anak bermasalah, seperti anak autis. Dalam sebuah seminar mengenai Penanganan Anak Bermasalah Khususnya dalam Segi Emosi dan Autism, Julianti Gunawan, menuliskan,”Ciri-ciri gejala autisme nampak dari gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Selanjutnya, terapis anak autis yang juga bekerja di Biro Konsultasi Psikologi sebuah yayasan pendidikan di Jakarta, merincikan,”gangguan komunikasi pada anak autis ditandai dengan tidak adanya kontak mata, terlambat berbicara atau sama sekali belum dapat bicara, sulit untuk memulai percakapan dengan orang lain, mengulang kata-kata atau membeo, berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti atau bahasa planet, serta tidak memahami pembicaraan orang lain” Jadi, salah satu ciri gangguan komunikasi yang muncul pada anak autis adalah terlambat bicara atau sama sekali belum dapat bicara.
Terlambat bicara berhubungan dengan kemampuan anak menyampaikan kebutuhannya dengan suatu cara yang dapat dimengerti dengan benar atau perilaku komunikatif. Dalam sebuah makalah seminar bahasa juga dituliskan, perkembangan perilaku komunikatif dibagi dalam tiga kelompok; Pertama, Tahap Perlokusioner, dimana pesan diterima oleh pendengar tanpa ada usaha dari anak sehingga tidak terjadi komunikasi antara kedua belah pihak. Umumnya muncul sebelum umur 10 bulan. Kedua, Tahap Ilokusioner, ditandai dengan munculnya perilaku bahasa non verbal yang dapat dimengerti oleh pendengar, misalnya anak hanya menunjuk pada benda yang diinginkan. Ketiga, Perilaku Lokusioner, adalah fungsi bahasa yang dijadikan kedalam bentuk bahasa verbal. Sehingga pada tahap Perilaku Lokusioner sudah mulai timbul usaha dari anak untuk menyampaikan kebutuhannnya dalam bentuk bahasa verbal.
Kemampuan anak memasuki tahap Perilaku Lokusioner, merupakan langkah awal untuk mengembangkan kemampuan verbal atau mengembangkan kemampuan anak berbicara anak. Dibawah ini ada lima cara sederhana yang dapat dilakukan orang tua atau terapis untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, antara lain:
Permainan Tiba-Tiba
Permainan tiba-tiba merupakan permainan tidak terencana tapi mengasyikan, karena mengajari anak bicara dari apa yang menarik perhatiannya saat itu. Misalnya, anak tertarik pada kaleng bekas yang kebetulan tergeletak di lantai. Lantas anak mengambil, membuka dan menutup kaleng tersebut. Kesempatan ini dapat digunakan oleh orang tua atau terapis untuk mengajari konsep “buka” dan “tutup”. Caranya, orang tua atau terapis menutup kaleng sambil mengatakan,”tutup”. Lantas penutup kaleng tersebut diberikan kepada anak. Kemudian minta anak untuk mengikuti apa yang dilakukan sebelumnya. Atau, bisa juga menggunakan kaleng lain, agar orang tua atau terapis dan anak melakukan permainan ini secara bersamaan. Cara yang sama dilakukan juga untuk mengajari konsep,”buka.” Bila anak bosan kita juga dapat ganti mengajari konsep lain, seperti “pelan” dan “berisik”. Caranya, memukul kaleng perlahan dengan sendok, sambil berkata dengan nada suara pelan,”pelan!”. Kemudian memukul kaleng sekencangnya sambil berteriak,”berisik!”. Permainan dilakukan berulang dan dikembangkan dalam suasana yang menyenangkan. Anak akan lebih menikmati permainan bila kemudian orang tua atau terapis yang meniru tingkah anak dalam bermain.
Permainan tiba-tiba ini dapat dilakukan juga pada saat anak tertarik pada gambar kesukaannya, misalnya gambar gajah. Orang tua atau terapis bisa mengikuti tingkah anak menunjuk sambil menyebutkan nama “gajah” pada gambar yang ditunjuk. Bila anak tertawa dan senang tingkahnya diikuti oleh orang tua atau terapis secara berulang-ulang, hal ini akan memancing anak untuk meniru orang tua atau terapis tanpa disadarinya. Maka kesempatan ini dapat juga digunakan untuk mengajari anak menyebutkan nama binatang yang ada digambar selain gajah, seperti sapi, domba, kucing dan sebagainya. Selanjutnya, bisa juga dikembangkan menjadi dua kata, seperti “gajah abu-abu”, “gajah India”, atau…”susu sapi”, domba putih”, dan seterusnya.
Lomba Menamai Benda
Permainan berikutnya adalah lomba menamai benda. Untuk mempraktekan cara ini, orang tua atau terapis membutuhkan gambar-gambar yang sudah dikenal dan akan dinamai. Misalkan, gambar topi, burung, sepatu, apel, gajah, dan sebagainya yang dapat dipotong dari majalah bekas. Tempelkan gambar pada karton berukur post card (gambar 2.1) agar kelihatan menarik, lalu tempelkan pada dinding kamar terapi atau ruang keluarga. Kemudian membuat lomba dengan instruksi yang sederhana pada anak. Misalkan, “lari, pegang gambar topi, lalu sebutkan “topi”. Setelah instruksi diberikan, orang tua atau terapis lari bersama anak untuk memegang gambar topi sambil berteriak,”topi”. Permainan ini dapat juga dikembangkan dengan menyebutkan dua kata, seperti, topi merah, topi baru, topi sekolah (bila memang itu gambar topi sekolah), dan sebagainya.
Permainan lomba menamai benda akan lebih menyenangkan bila mengajak saudara, teman, atau anak tetangga yang sebaya dengan anak. Tapi, sebaiknya permainan cukup melibatkan anak dengan dua pemain lainnya, agar anak lebih mudah meniru, dan tetap dapat mengikuti permainan dengan baik. Supaya permainan lomba menamai benda ini lebih menantang, maka gambar-gambar yang akan dinamai di tempelkan agak tinggi, agar anak harus melompat saat menyentuh gambar yang akan dinamai tersebut.
Lagu atau Nyanyian
Lagu adalah cara menyenangkan untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, karena umumnya anak-anak suka sekali bernyanyi. Melalui bernyanyi anak dapat belajar mengucapkan lirik lagu tersebut satu persatu.
Mengajari anak menyanyi dapat dimulai dari lagu pendek dan sederhana, yang tentunya sangat disukai oleh anak, misalkan “Topi Saya Bundar”, “Kepala Pundak Lutut Kaki”, “Balonku Ada Lima”, atau “Aku Punya Anjing Kecil”. Selain itu, lagu juga dapat memperkaya imajinasi anak, dimana lirik lagu tersebut diubah sesuai dengan karakter lagu. Misalkan, lagu Aku Punya Anjing Kecil dapat diganti liriknya menjadi
Aku Punya Kucing Kecil.
Aku punya kucing kecil
Kuberi nama Kitty
Dia pandai menari-nari
Sambil bernyanyi riang
Kitty, meong-meong
Kemari, meong-meong
Ayo nari-nari
Kitty, meong-meong
Kemari, meong-meong
Ayo nari-nari…
Disamping itu, anak akan merasa senang bila lagu tersebut dinyanyikan memakai gerakan yang sesuai dengan lirik lagu. Dan akan lebih menarik lagi bila nama anaknya disebutkan dalam lirik lagu tersebut.
Menonton Televisi
Sebenarnya, nonton televisi dapat dijadikan sarana untuk mengajar anak berbicara dan komunikasi, asalkan orang tua atau terapis mau menyediakan waktu untuk nonton bersama. Hal pertama yang perlu dilakukan sebelum mengajari anak berbicara melalui nonton tivi, adalah mengetahui film apa yang menjadi kesukaan anak, seperti film Teletubbies, Donal Bebek, dan sebagainya. Kedua, mengetahui sejauh mana kemapuan anak dalam mengenal konsep, seperti warna, bentuk, jumlah, benda, dan sebagainya. Hal ini akan membantu saat meminta anak menceritakan apa yang ditonton pada orang tua atau terapis. Misalkan,”siapa sih yang naik skuter?”; “baju Lala warnanya apa sih?” dan sebagainya. Sebaiknya, jangan minta anak menceritakan sesuatu di dalam film yang tidak diketahuinya, seperti menyebutkan warna baju yang dipakai Lala sementara anak belum tahu tentang warna. Tetapi, sebaiknya diberitahu dulu apa yang sedang ditonton pada anak saat itu, lalu ditanyakan kembali pada kesempatan yang berbeda.
Permainan Berpura-pura
Permainan berpura-pura atau Pretend Play merupakan salah satu cara lain untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, melalui skenario pendek yang dibuat dari permainan yang dipilih, contohnya “Pura-pura jadi dokter”. Orang tua atau terapis dapat membuat skenario pendek antara seorang dokter dengan pasiennya. Dimana orang tua atau terapis menjadi dokter dan anak menjadi pasien. Contoh sederhana dari skenario permainan “pura-pura jadi dokter”.
Suasana: Dokter sedang duduk diruang kerjanya dengan alat dokternya yang ditaruh di atas meja. Disamping meja tergelatak sebuah tikar untuk digunakan pasien berbaring. Tiba-tiba terdegar ketukan di pintu.
Pasien: “Selamat pagi, dokter!”
Dokter: “Selamat pagi. Silakan duduk.”
Pasien : (Duduk di hadapan dokter) “Dokter, perut saya saki nih…”
Dokter : “Coba saya periksa dulu perut kamu” (dokter membimbing pasien tidur di atas tikar yang disiapkan. Kemudian memeriksa suhu tubuh dan perut pasien yang sakit. Setelah diperiksa, dokter mengajak pasiennya duduk kembali.)
Dokter : “Wah, Ibu terkena diare nih. Saya akan memberikan obat untuk diminum.”
Pasien : “Terima kasih, dokter.”
Untuk membantu anak dalam bermain, dibutuhkan satu orang terapis untuk menjadi model bicara pada awalnya. Atau, sebelum permainan dilakukan, ajari anak menghapal dialog yang diminta. Bila anak sudah mengikuti permainan dengan baik, maka skenario dapat dikembangkan lebih panjang lagi. Disamping itu, anak juga dapat bertukar peran dalam kesempatan yang berbeda, dimana anak yang menjadi dokter dan terapis atau orang tua yang menjadi pasien.
Skenario lain untuk permainan berpura-pura adalah, pura-pura berkunjung ke rumah Oma, belanja di supermaket, merayakan ulang tahun bersama, dan sebagainya. Supaya suasana lebih menyenangkan dapat libatkan teman, saudara atau anggota keluarga lainnya.
Sumber: http://puterakembara.org/archives3/00000015.shtml
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Autis
Dibutuhkan Keterlibatan Orang Tua UNTUK Anak Autis
28 11 2009
Penanganan yang jelas dan terarah UNTUK anak autis yang sesuai
dengan kebutuhan anak, memang penting dalam menentukan perbaikan
perkembangan anak-anak penyandang gangguan autistik.
Kalau akan diterapi, sebaiknya pilih tempat terapi yang baik dengan metode yang jelas dan melibatkan orang tua, sehingga orang tua dapat terlibat UNTUK ikut melatih anaknya di rumah. Selain itu, tak semua anak perlu mendapatkan obat dari dokter.;
Keterlibatan orang tua memang sangat menentukan. Seberat apa pun kondisi seorang anak, biasanya punya kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu. Misalnya pintar olahraga, menggambar, atau jago komputer. Dengan mengetahui kondisi dan kemampuan anaknya, orang tua dapat MEMILIH kurikulum yang tepat bagi si anak. Dengan begitu, anak tak harus belajar berbagai ilmu yang tidak diminatinya. Orang tua juga harus bisa melihat dan menerima kondisi anak dan memaksimalkan sesuai dengan kondisinya
Dalam menangani anak autis, sebaiknya orang tua banyak belajar melalui sharing dengan sesama orang tua yang anaknya juga menyandang gangguan autistik. Orang tua perlu banyak membaca, dalam rangka mencari berbagai penemuan atau info baru mengenai autisme. Dengan pengetahuan yang banyak, orang tua diharapkan juga makin tahu dan mengerti mengenai kondisi dan kemampuan anaknya
Bagi orang tua, agaknya tak hanya perlu membuka mata dan buka telinga, tetapi juga membuka hati UNTUK menerima kondisi apa pun yang dialami sang anak
Karakter Mereka. Karakterisitik perilaku anak penyandang gangguan autistik menurut Kanner adalah sebagai berikut.
• Tidak mampu membangun hubungan sosial dengan sesama, sehingga banyak anak autis yang senang menyendiri.
• Tak ada atau menghindari kontak mata.
• Gagal menggunakan bahasa secara normal UNTUK berkomunikasi, seperti tidak berbicara, atau berbicara dalam intonasi yang monoton.
• Memiliki keinginan yang berulang atas suatu hal yang rutin. Misalnya, senang mengamati benda yang berputar terus-menerus.
• Kerap terpesona akan sebuah objek.
Tahap-tahap Penanganan. UNTUK mengetahui dan menangani anak yang diduga mengalami gangguan autisik atau tidak, perlu beberapa tahap berikut.
• Skrining. Skrining ini ada beberapa macam. Bentuknya berupa pertanyaan kepada orang tua anak. Skrining dapat dilakukan UNTUK semua anak. Jika hasil skrining menunjukkan adanya gangguan, orangtua sebaiknya datang ke dokter UNTUK melakukan assessment.
Skrining UNTUK mengetahui apakah anak mengalami gangguan autistik dapat dilakukan mulai usia 11 bulan. Di bawah usia ini belum diketahui apakah bayi sudah mempunyai masalah dalam interaksi sosialnya atau tidak.
• Assesment. Ini semacam skrining yang lebih dalam lagi. Biasanya dilakukan beberapa kali dengan mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang tuan, sementara anak dibawa UNTUK diobservasi. Ahli akan melihat IQ-nya, gangguan perilakunya, interaksinya, hiperaktif atau tidak, seberapa besar derajat gangguan interaksinya, dan sebagainya. Semua itu UNTUK menentukan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Mungkin saja, anak hanya perlu stimulasi yang dapat dilakukan orang tuanya setiap hari, atau ia membutuhkan terapi khusus.
• Terapi. Terapi ini diberikan disesuai dengan kebutuhan anak. Ada anak yang membutuhkan terapi dengan obat-obatan, terapi sensorik (dengan berbagai latihan), terapi individual (misalnya, terapi wicara), dan sebagainya.
Sumber : http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Psikologi/dibutuhkan.keterlibatan.orang.tua.untuk.anak.autis/001/007/334/115/Memilih+Snack+Untuk+Balita/4
Kalau akan diterapi, sebaiknya pilih tempat terapi yang baik dengan metode yang jelas dan melibatkan orang tua, sehingga orang tua dapat terlibat UNTUK ikut melatih anaknya di rumah. Selain itu, tak semua anak perlu mendapatkan obat dari dokter.;
Keterlibatan orang tua memang sangat menentukan. Seberat apa pun kondisi seorang anak, biasanya punya kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu. Misalnya pintar olahraga, menggambar, atau jago komputer. Dengan mengetahui kondisi dan kemampuan anaknya, orang tua dapat MEMILIH kurikulum yang tepat bagi si anak. Dengan begitu, anak tak harus belajar berbagai ilmu yang tidak diminatinya. Orang tua juga harus bisa melihat dan menerima kondisi anak dan memaksimalkan sesuai dengan kondisinya
Dalam menangani anak autis, sebaiknya orang tua banyak belajar melalui sharing dengan sesama orang tua yang anaknya juga menyandang gangguan autistik. Orang tua perlu banyak membaca, dalam rangka mencari berbagai penemuan atau info baru mengenai autisme. Dengan pengetahuan yang banyak, orang tua diharapkan juga makin tahu dan mengerti mengenai kondisi dan kemampuan anaknya
Bagi orang tua, agaknya tak hanya perlu membuka mata dan buka telinga, tetapi juga membuka hati UNTUK menerima kondisi apa pun yang dialami sang anak
Karakter Mereka. Karakterisitik perilaku anak penyandang gangguan autistik menurut Kanner adalah sebagai berikut.
• Tidak mampu membangun hubungan sosial dengan sesama, sehingga banyak anak autis yang senang menyendiri.
• Tak ada atau menghindari kontak mata.
• Gagal menggunakan bahasa secara normal UNTUK berkomunikasi, seperti tidak berbicara, atau berbicara dalam intonasi yang monoton.
• Memiliki keinginan yang berulang atas suatu hal yang rutin. Misalnya, senang mengamati benda yang berputar terus-menerus.
• Kerap terpesona akan sebuah objek.
Tahap-tahap Penanganan. UNTUK mengetahui dan menangani anak yang diduga mengalami gangguan autisik atau tidak, perlu beberapa tahap berikut.
• Skrining. Skrining ini ada beberapa macam. Bentuknya berupa pertanyaan kepada orang tua anak. Skrining dapat dilakukan UNTUK semua anak. Jika hasil skrining menunjukkan adanya gangguan, orangtua sebaiknya datang ke dokter UNTUK melakukan assessment.
Skrining UNTUK mengetahui apakah anak mengalami gangguan autistik dapat dilakukan mulai usia 11 bulan. Di bawah usia ini belum diketahui apakah bayi sudah mempunyai masalah dalam interaksi sosialnya atau tidak.
• Assesment. Ini semacam skrining yang lebih dalam lagi. Biasanya dilakukan beberapa kali dengan mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang tuan, sementara anak dibawa UNTUK diobservasi. Ahli akan melihat IQ-nya, gangguan perilakunya, interaksinya, hiperaktif atau tidak, seberapa besar derajat gangguan interaksinya, dan sebagainya. Semua itu UNTUK menentukan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Mungkin saja, anak hanya perlu stimulasi yang dapat dilakukan orang tuanya setiap hari, atau ia membutuhkan terapi khusus.
• Terapi. Terapi ini diberikan disesuai dengan kebutuhan anak. Ada anak yang membutuhkan terapi dengan obat-obatan, terapi sensorik (dengan berbagai latihan), terapi individual (misalnya, terapi wicara), dan sebagainya.
Sumber : http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Psikologi/dibutuhkan.keterlibatan.orang.tua.untuk.anak.autis/001/007/334/115/Memilih+Snack+Untuk+Balita/4
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Autis
Terapi Musik untuk Bangkitkan Konsentrasi Anak Autis
28 11 2009
Senin, 21 Januari 2008 – 15:35 wib
SALAH satu metode untuk menangani anak autis yakni memberikan pelajaran musik untuk menggugah konsentrasi mereka. Koordinator sekolah musik Gita Nada Persada Hani Yulia Adinda menyatakan, ada dua tahapan pembelajaran musik anak autis, yakni tahap dasar dan lanjutan.
Pada tahap dasar, anak autis cukup diberikan pengenalan nada saja, misalnya suara ketukan maupun bunyi-bunyian alat musik seperti drum. Setelah mengenal nada dasar, kemudian siswa masuk tahap lanjutan dengan diberikan musik yang lebih beralur seperti piano. Untuk sampai pada tahap lanjutan, tergantung keseriusan serta daya tangkap masing-masing anak autis. Agar usaha membangkitkan konsentrasi siswa lebih cepat, sekolah musik Gita Nada Persada juga mendatangkan psikolog untuk membantu pola berpikir anak autis. Untuk itu, tiap minggu ada pelayanan konsultasi psikologi yang dilakukan bagi siswa Gita Nada persada.
”Namun, akhir-akhir ini yang minta bantuan psikologi bukan si anak autis, melainkan guru musik yang mengajarnya setiap hari. Maklum, tingkah laku anak autis yang berlebihan membuat pikiran para guru tegang. Jadi, mereka membutuhkan bantuan psikolog,” papar Adinda sambari tersenyum.
Selain itu, peranan orangtua juga menjadi faktor penentu keberhasilan anak autis menjalani hidup, baik dari pola kehidupan sehari-hari siswa maupun ritme belajar yang dilakukan kepada anak autis di rumah. “Jam tidur juga harus dijaga. Perhatian orangtua dituntut bisa mengendalikan pola hidup anaknya. Kalau tidak, konsentrasinya bisa bubar,” tuturnya.
Dengan belajar musik, anak autis bisa menemukan konsentrasinya. Nada dan ketukan musik yang keluar dari piano dan drum mampu menembus arah pikirannya.
Seperti yang dilakukan Milka Rizki Bramasto (6), salah seorang siswa Gita Nada Persada. Dia begitu tenang saat jemarinya menari di atas tuts piano meski suaranya tidak beraturan. Maklum, Milka hanya bisa memainkan tiga tangga nada piano, yakni do, re, dan mi. Namun, dengan bermain musik, dia sedikit bisa mengatur konsentrasi yang ada di pikirannya. Ketukan nada yang keluar dari piano mampu menggugah daya ingat serta fokus seorang anak yang menderita autis. Sesekali, Milka bertingkah berlebihan dengan memukul badan piano. Reaksi yang berlebihan seperti itu sering dilakukan anak autis. Apa yang mereka inginkan juga harus segera terwujud. Pengajar musik Gita Nada Persada Trie Aprianto menuturkan, mengajarkan musik kepada siswa autis harus memiliki kesabaran tinggi.
Biasanya, para siswa sering bertingkah aneh. Pasalnya, antara tindakan serta pikirannya sering tidak bisa menyambung. “Kalau pertama kali mereka bermain musik, biasanya marah-marah tanpa sebab. Bahkan, ada yang sampai menangis histeris. Semua itu respons dari anak autis melawan kesadaran mereka,” ujar Arie ketika ditemui dalam Pentas Musik Gita Persada di Hotel Santika, Surabaya. Untuk memahami musik, biasanya anak autis membutuhkan waktu dua tahun.
Sang anak juga bisa mengontrol dirinya sendiri. Untuk memberikan pelajaran, ada dua guru yang menangani seorang siswa. Satu guru bertugas mengajar cara bermain musik, sedangkan satu guru lainnya memegang tubuh anak autis. Kalau tidak dilakukan dua guru, bisa kerepotan. “Kalau tidak dua guru yang menangani, si anak autis bisa melompat-lompat dan main pukul. Jadi, mereka harus diarahkan dengan tindakan ekstra,” pungkasnya.
sumber : http://maubaca.com/forum/index.php?topic=345.0;wap2
SALAH satu metode untuk menangani anak autis yakni memberikan pelajaran musik untuk menggugah konsentrasi mereka. Koordinator sekolah musik Gita Nada Persada Hani Yulia Adinda menyatakan, ada dua tahapan pembelajaran musik anak autis, yakni tahap dasar dan lanjutan.
Pada tahap dasar, anak autis cukup diberikan pengenalan nada saja, misalnya suara ketukan maupun bunyi-bunyian alat musik seperti drum. Setelah mengenal nada dasar, kemudian siswa masuk tahap lanjutan dengan diberikan musik yang lebih beralur seperti piano. Untuk sampai pada tahap lanjutan, tergantung keseriusan serta daya tangkap masing-masing anak autis. Agar usaha membangkitkan konsentrasi siswa lebih cepat, sekolah musik Gita Nada Persada juga mendatangkan psikolog untuk membantu pola berpikir anak autis. Untuk itu, tiap minggu ada pelayanan konsultasi psikologi yang dilakukan bagi siswa Gita Nada persada.
”Namun, akhir-akhir ini yang minta bantuan psikologi bukan si anak autis, melainkan guru musik yang mengajarnya setiap hari. Maklum, tingkah laku anak autis yang berlebihan membuat pikiran para guru tegang. Jadi, mereka membutuhkan bantuan psikolog,” papar Adinda sambari tersenyum.
Selain itu, peranan orangtua juga menjadi faktor penentu keberhasilan anak autis menjalani hidup, baik dari pola kehidupan sehari-hari siswa maupun ritme belajar yang dilakukan kepada anak autis di rumah. “Jam tidur juga harus dijaga. Perhatian orangtua dituntut bisa mengendalikan pola hidup anaknya. Kalau tidak, konsentrasinya bisa bubar,” tuturnya.
Dengan belajar musik, anak autis bisa menemukan konsentrasinya. Nada dan ketukan musik yang keluar dari piano dan drum mampu menembus arah pikirannya.
Seperti yang dilakukan Milka Rizki Bramasto (6), salah seorang siswa Gita Nada Persada. Dia begitu tenang saat jemarinya menari di atas tuts piano meski suaranya tidak beraturan. Maklum, Milka hanya bisa memainkan tiga tangga nada piano, yakni do, re, dan mi. Namun, dengan bermain musik, dia sedikit bisa mengatur konsentrasi yang ada di pikirannya. Ketukan nada yang keluar dari piano mampu menggugah daya ingat serta fokus seorang anak yang menderita autis. Sesekali, Milka bertingkah berlebihan dengan memukul badan piano. Reaksi yang berlebihan seperti itu sering dilakukan anak autis. Apa yang mereka inginkan juga harus segera terwujud. Pengajar musik Gita Nada Persada Trie Aprianto menuturkan, mengajarkan musik kepada siswa autis harus memiliki kesabaran tinggi.
Biasanya, para siswa sering bertingkah aneh. Pasalnya, antara tindakan serta pikirannya sering tidak bisa menyambung. “Kalau pertama kali mereka bermain musik, biasanya marah-marah tanpa sebab. Bahkan, ada yang sampai menangis histeris. Semua itu respons dari anak autis melawan kesadaran mereka,” ujar Arie ketika ditemui dalam Pentas Musik Gita Persada di Hotel Santika, Surabaya. Untuk memahami musik, biasanya anak autis membutuhkan waktu dua tahun.
Sang anak juga bisa mengontrol dirinya sendiri. Untuk memberikan pelajaran, ada dua guru yang menangani seorang siswa. Satu guru bertugas mengajar cara bermain musik, sedangkan satu guru lainnya memegang tubuh anak autis. Kalau tidak dilakukan dua guru, bisa kerepotan. “Kalau tidak dua guru yang menangani, si anak autis bisa melompat-lompat dan main pukul. Jadi, mereka harus diarahkan dengan tindakan ekstra,” pungkasnya.
sumber : http://maubaca.com/forum/index.php?topic=345.0;wap2
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Autis
Anak Autis
28 11 2009
Oleh : Emanuel Setio Dewo
Memiliki anak yg menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan-gerakan aneh yangg selalu diulang-ulang. Selain itu dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat-saat atau kondisi tertentu.
Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca & mengamati, saya sebagai orang awam yang sederhana ini dapat menarik kesimpulan sementara, yaitu:
1. Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yang paling sering dituduh) yang tdk dapat mendidik penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of Mind, yang ditulis oleh seorang autis).
2. Jarang sekali anak autis yang benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada penderita autis.
3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi.
4. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
5. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yang justru kebal terhadap zat-zat penting dalam tubuh & menghancurkannya.
6. Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yang sebenarnya sangat diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan pola makan yang dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
7. Autis memiliki spektrum yang lebar. Dari yg autis ringan sampai yang terberat. Termasuk di dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
8. Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yang dapat menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya. Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yang dapat memperbaikinya.
Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yangg seperti kerasukan setan ini. Perlu beberapa hal yang perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
1. Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis & teratur.
2. Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam tubuh penderita (detoxinasi).
3. Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
4. Dewasa ini penelitian yang berkesinambungan telah mencapai perkembangan yang luar biasa. Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
5. Terapi harus dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan perbaikan kondisi penderita dirasa tidak ada.
6. Diet harus terus dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin. Perbaikan kondisi penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yang tidak ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi baik serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita autis. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.
Sumber : http://www.dongengkakrico.com/index.php?view=article&catid=43%3Akumpulan-artikel-seputar-anak&id=194%3Aanak-autis&option=com_content&Itemid=101
Memiliki anak yg menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan-gerakan aneh yangg selalu diulang-ulang. Selain itu dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat-saat atau kondisi tertentu.
Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca & mengamati, saya sebagai orang awam yang sederhana ini dapat menarik kesimpulan sementara, yaitu:
1. Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yang paling sering dituduh) yang tdk dapat mendidik penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of Mind, yang ditulis oleh seorang autis).
2. Jarang sekali anak autis yang benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada penderita autis.
3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi.
4. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
5. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yang justru kebal terhadap zat-zat penting dalam tubuh & menghancurkannya.
6. Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yang sebenarnya sangat diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan pola makan yang dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
7. Autis memiliki spektrum yang lebar. Dari yg autis ringan sampai yang terberat. Termasuk di dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
8. Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yang dapat menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya. Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yang dapat memperbaikinya.
Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yangg seperti kerasukan setan ini. Perlu beberapa hal yang perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
1. Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis & teratur.
2. Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam tubuh penderita (detoxinasi).
3. Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
4. Dewasa ini penelitian yang berkesinambungan telah mencapai perkembangan yang luar biasa. Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
5. Terapi harus dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan perbaikan kondisi penderita dirasa tidak ada.
6. Diet harus terus dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin. Perbaikan kondisi penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yang tidak ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi baik serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita autis. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.
Sumber : http://www.dongengkakrico.com/index.php?view=article&catid=43%3Akumpulan-artikel-seputar-anak&id=194%3Aanak-autis&option=com_content&Itemid=101
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Autis
Anak Autis Butuh Guru Pendamping
16 11 2009
Minggu, 21 September 2008 16:13 WIB
MEDAN, MINGGU – Anak autis yang baru belajar di sekolah umum memerlukan guru pendamping (shadow teacher) selain guru yang ada di depan kelas dan sifatnya hanya sementara sampai anak bisa mandiri di dalam kelas. Koordinator Yayasan ISSADD Indonesia Medan, E. Pratiwi, di Medan, Minggu (21/9), mengatakan, hampir semua sekolah di Indonesia lebih memprioritaskan muatan akademik yang bersifat teori dan menghafal pada siswanya. Muatan akademik yang lebih banyak menuntut siswa untuk paham secara teori itu akan sulit diikuti oleh anak autis karena anak autis adalah visual learner, yakni butuh materi yang dipresentasikan dalam bentuk visual agar konsepnya bisa dipahami. “Di sinilah dibutuhkan peran guru pendamping untuk menjelaskan kepada anak autis apa yang harus dikerjakannya sesuai dengan intruksi dari guru di depan kelas,” katanya. Ia mengatakan, sebagian orangtua yang memiliki anak autis menyadari beratnya tuntutan akademik sekolah di Indonesia, sehingga mencoba mencari sekolah yang tidak terlalu banyak muatan akademik dengan metode belajar-mengajar yang juga disajikan dengan lebih menyenangkan dan penuh bantuan visual. Namun sayangnya, biasanya kegiatan belajar dan mengajar di sekolah tersebut lebih banyak dilakukan dengan bilingual (bahasa Inggris), padahal hampir sebagian besar anak autis bermasalah dengan bahasa. Untuk itu dibutuhkan koordinasi antara pihak sekolah, orangtua, dan terapis dalam menentukan bagaimana menangani anak dengan kebutuhan khusus (autis) di sekolah. “Selama ini penanganan satu kasus anak autistic dengan yang lain selalu disamakan, pihak sekolah juga melarang pendamping untuk ikut serta dalam kegiatan belajar dan mengajar walau pendamping sifatnya hanya sementara,” ungkapnya. Di negara maju seperti Australia dan Singapura, telah dikembangkan metode IEP (individual education program) untuk anak yang berkebutuhan khusus.Program ini dibuat atas kerjasama pihak sekolah, orangtua dan terapis yang didasari potensi dan kemampuan anak, dimana ada beberapa muatan akademik yang disesuaikan dengan kemampuan anak autis tersebut. Dalam hal ini harus ada kerjasama antara pihak sekolah, orangtua dan terapis. Praktiknya, anak autistik tetap disatukan dengan anak normal lainnya tapi pola belajarnya berbeda, misalnya memberikan instruksi tidak hanya dengan mengatakan instruksi tersebut tapi juga dibantu dengan bantuan visual, ujarnya.
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/21/16132933/anak.autis.butuh.guru.pendamping
MEDAN, MINGGU – Anak autis yang baru belajar di sekolah umum memerlukan guru pendamping (shadow teacher) selain guru yang ada di depan kelas dan sifatnya hanya sementara sampai anak bisa mandiri di dalam kelas. Koordinator Yayasan ISSADD Indonesia Medan, E. Pratiwi, di Medan, Minggu (21/9), mengatakan, hampir semua sekolah di Indonesia lebih memprioritaskan muatan akademik yang bersifat teori dan menghafal pada siswanya. Muatan akademik yang lebih banyak menuntut siswa untuk paham secara teori itu akan sulit diikuti oleh anak autis karena anak autis adalah visual learner, yakni butuh materi yang dipresentasikan dalam bentuk visual agar konsepnya bisa dipahami. “Di sinilah dibutuhkan peran guru pendamping untuk menjelaskan kepada anak autis apa yang harus dikerjakannya sesuai dengan intruksi dari guru di depan kelas,” katanya. Ia mengatakan, sebagian orangtua yang memiliki anak autis menyadari beratnya tuntutan akademik sekolah di Indonesia, sehingga mencoba mencari sekolah yang tidak terlalu banyak muatan akademik dengan metode belajar-mengajar yang juga disajikan dengan lebih menyenangkan dan penuh bantuan visual. Namun sayangnya, biasanya kegiatan belajar dan mengajar di sekolah tersebut lebih banyak dilakukan dengan bilingual (bahasa Inggris), padahal hampir sebagian besar anak autis bermasalah dengan bahasa. Untuk itu dibutuhkan koordinasi antara pihak sekolah, orangtua, dan terapis dalam menentukan bagaimana menangani anak dengan kebutuhan khusus (autis) di sekolah. “Selama ini penanganan satu kasus anak autistic dengan yang lain selalu disamakan, pihak sekolah juga melarang pendamping untuk ikut serta dalam kegiatan belajar dan mengajar walau pendamping sifatnya hanya sementara,” ungkapnya. Di negara maju seperti Australia dan Singapura, telah dikembangkan metode IEP (individual education program) untuk anak yang berkebutuhan khusus.Program ini dibuat atas kerjasama pihak sekolah, orangtua dan terapis yang didasari potensi dan kemampuan anak, dimana ada beberapa muatan akademik yang disesuaikan dengan kemampuan anak autis tersebut. Dalam hal ini harus ada kerjasama antara pihak sekolah, orangtua dan terapis. Praktiknya, anak autistik tetap disatukan dengan anak normal lainnya tapi pola belajarnya berbeda, misalnya memberikan instruksi tidak hanya dengan mengatakan instruksi tersebut tapi juga dibantu dengan bantuan visual, ujarnya.
Sumber : http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/21/16132933/anak.autis.butuh.guru.pendamping
Komentar : Tinggalkan komentar
Kategori : Autis
No comments:
Post a Comment